100% Cinta


Hari sudah malam. Arloji di dinding menunjukan pukul 19.24 WIB. Ini sudah waktunya Beela tidur. Kuperhatikan anak itu masih asyik bermain dan bercanda riang dengan ayahnya. 

"Beela, ke kamar sayang. Mama mau bobok." ujarku sambil berjalan menuju kamar disusul suamiku. 

"Iya Beel, Bapak juga mau bobok," ujar suamiku kemudian. 

"Ah ... ayo Pak," cletuknya sambil berlari mendahului kami kekamar diiringi tawa renyah. 

Aku lihat anakku sudah berbaring ditempat biasanya ia tidur. Aku pun menghampirinya. Begitupun suamiku. 

"Beela, Mama mau ngomong. Beela dengerin ya," ujarku sambil mengelus lembut rambutnya. 

"Hu'um," jawabnya sambil menatap mataku, nampak memperhatikan. 

"Besok Mama mau berangkat kerja. Cari uang buat beli jajan Beela. Beela dirumah ya, sama Bapak, sama Kakung, sama Uti. "

"Hu'um," jawabnya seolah memahami ucapanku. 

"Beela dirumah jangan rewel ya. "

"Ola (ora) lewel (rewel). "

"Sip. Anak Mama memang pinter. Nanti kalau kangen Mama Beela telfon atau video call sama Mama ya, " ujarku sambil memperagakan orang memegang telfon. 

"Hu'um, Ma. "

"Sip. Sini Mama cium Beela dulu, " imbuhku sambil mengecup pipi mungil anakku yang tengah asik bobok di sampingku. 

Aku pun membacakan surat pendek Al Qur'an sebagai penghantar tidur untuk anakku. Lima menit kemudian dia sudah terlelap. 

Keesokan harinya aku terbangun. Langit masih gelap. Sinar matahari yang biasanya menembus hingga kamar hari ini belum nampak. Dari balik jendela aku melihat lampu di jalan masih menyala. Tanda fajar belum menyingsing. Ku ambil handphone. Arloji handphone menunjukan pukul 04.00 WIB. Menjelang subuh aku memang sering terbangun. 

Aku segera mencari tas. Ku masukan beberapa pakaian kedalamnya. Aku membuka ceklist barang di handphone. Ku pastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah selesai, aku bersegera ke kamar mandi. Aku tengok ke kamar. Aku lihat suamiku sudah bangun dan segera bersiap-siap mengantarku ke Ponorogo, kota yang berjarak tak begitu jauh dari tempat kami tinggal sekarang. 

Tepat pukul 05.00 WIB, kami tancap gas. Pada saat itu aku melihat Beela masih terlelap. Dijaga oleh Uti. Perjalanan ini aku lakukan dengan berat hati. Aku tidak pernah jauh dari suami dan anakku sebelumnya. Tapi hari ini semua harus terjadi.

Aku melihat banyak istri ditinggal suaminya berkerja. Sebagian dari mereka ada yang sehari pulang pergi, sebulan pulang, setahun sekali, sebagian yang lain bertahun-tahun baru bisa pulang. Mereka bisa, kenapa aku harus bersedih. Ini hal yang biasa. Bukankah kamu juga kuliah jauh dari orang tua? Kamu bersedih? Tidak, batinku. 

Tak kusangka, ternyata satu jam sudah perjalanan ditempuh. Kami sudah berada tepat di depan asrama perusahaan. 

"Dek, sudah sampai, " ujar suamiku. 

"Iya."

"Sudah ya. Kamu baik-baik ya disini. Gak usah kemana-mana."

"Hu'um. Kamu juga baik-baik ya dirumah. Hati-hati dijalan. Gak usah ngebut. Sampai rumah jangan lupa langsung mandi dan bajunya langsung di cuci."

"Iya, " jawab suamiku singkat. Aku lihat raut wajahnya berubah. Nampak sedih. 

"Hey beby, gak usah sedih gitu. Aku baik-baik saja disini. "

"Sedih lah. Kamu rese sih. Udah kerja duluan, " keluhnya. 

"Hehehehe, kamu tenang aja. Kamu juga akan kerja kalau sudah tepat waktunya nanti," balasku sambil mengelus pipinya. 

Dia hanya membalas dengan senyum. 

"udah ya aku pulang dulu, " ujarnya kemudian. 

"He'em."

Akupun mencium tangannya. Lalu dia membelokkan motornya ke arah jalan pulang. 

"Assalamu'alaikum," ucapnya sebelum menjalankan sepeda motor yang telah ia nyalakan mesinnya. 

"Wa'alaikumsalam wr wb, " balasku singkat. 

Kemudian dia berjalan menjauh. Aku terus memperhatikannya hingga mata ini tak dapat menjangkaunya. 

Keesokan harinya, sepulang kerja ku ambil handphone. Ku hubungi keluarga di rumah. 

[ Hallo, assalmu'alaikum. ]

[ wa'alaikumsalam wr wb. ]

Aku mendengar suara suamiku di balik telepon. 

[ Beela lagi ngapain mas, rewel tidak ? ]

[ alhamdulillah tidak rewel. Ini anaknya sedang mengunting kertas. ]

[ oh ya? alhamdulillah. ]

[ sopo Pak ? Mama? Mamaa. ] 

Aku mendengar suara anakku dibalik telfon. 

[ Hallo Ma, Mama. ]

Aku tahu sekarang Beela sendiri yang memegang handphone ayahnya. 

[ iya sayangku. Beela lagi ngapain ? ]

[ unting eltas, Ma. (menggunting kertas, Ma.) ]

[ oh menggunting kertas. Beela sudah makan sayang ? ]

[ Dah, Ma. ]

[ alhamdulillah. Apa lauknya ? ]

[ endot (telur). ]

[ hahaha, kok telur terus sih lauknya sayang? ]

[ iwa (iwak) ]

[ oh lauknya iwak. alhamdulillah. Siapa yang beli sayang ? ]

[ Bapak, Ma. ]

[ oh Bapak yang beli. Beela rewel gak dirumah sayang? ]

[ ola, Ma. (ora, Ma.) ]

[ alhamdulillah anak Mama pinter. Sini cium dulu muach. ] 

Aku mencium telepon di genggaman tangan. Berharap Beela bisa merasakan kasih tulusku meski hanya dari suara. Aku berbahagia mendengar suara riangnya. Aku mendengarkannya dengan penuh rasa syukur. Beela dengan suara khas anak bayi mengatakan bahwa dia tidak rewel dan baik-baik saja. Makan dan jajan seperti biasa. Beelaku, kamu mungkin manusia baru dalam hidupku. Tetapi, kehadiranmu sungguh telah mengokohkan hidup yang selama ini teramat rapuh. Mama 100% mencintaimu, Nak. 

Comments

Populer Post

Penipuan Panggilan Tes Perusahaan Menggunakan Email dan Agen Travel

Resensi Novel Pesona Izmir

Libur Nasional Covid 19