Bangasa Tukang Keplok



Industri hiburan ditelevisi sangat membutuhkan tukang keplok “profesional”. Para suporter ini dibayar dan diwajibkan untuk tepuk tangan dan tertawa sehingga acara bincang-bincang atau lawak tampak meriah meskipun sebenarnya tidak lucu, apalagi cerdas.

Hampir tidak ada yang otentik dalam industri hiburan di televisi.  Semua serba direkayasa demi lakunya komoditas. Para juru keplok yang dikoordinasi agen ini benar-benar jadi alat untuk menyemangati para penampil dan memancing tawa penonton lain. Namun, penonton bukan tertawa dan terhibur, tetapi justru "terharu" melihat juru keplok dan penampil bersusah payah untuk lucu.

Sama terharunya merasakant nasib bangsa ini yang juga tak lebih dari juru keplok dan tawa dalam pementasan industri politik, baik level nasional maupun internasional. Bedanya, juru keplok disini tidak dibayar, malah diwajibkan membayar baik dengan uang maupun kesusahan hidup.

Pada masa pemilihan presiden lalu,  bangsa ini ramai-ramai digiring menjadi juru keplok bagi politisi-politisi yang berkontestasi. Favoritisme dan dukungan atas capres pun merebak, bahkan nyaris menimbulkan bentrok besar antar suporter. Tidak hanya masyarakat akar rumput yang terlihat, tetapi juga intelektual lintas bidang dan profesi.

Setiap pihak larut dalam kegandrungan pada idola. Pihak yang satu menganggap idolanya tidak beda dengan "penyelamat bangsa" dari hegemoni kekuatan asing. Adapun pihak lain menganggap tokoh  idolanya adalah sosok "pembawa perubahan dan harapan baru", nyaris seperti "ratu adil".

Namun semua berakhir antiklimaks. Kemunculan presiden terpilih dan kabinetnya cenderung "anyep" alias dingin. Rakyat pun menunggu pembuktian janji menciptakan perubahan dan harapan baru. Mendadak rakyat disuguhi kebijakan klasik : pencabutan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Kelas menengah yang tetap bisa survive dalam kondisi apapun kontan mendukung kebijakan itu. Bahkan mereka memberikan keplok hangat. Bagi mereka pilihan presiden baru menaikan harga bahan bakar minyak merupakan keberanian khas ksatria konstitusi atau keberanian seorang negarawan yang tanggap terhadap dinamika ekonomi dunia. Tak peduli harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung.

Bangsa juru keplok adalah bangsa yang rapuh dan gampang direkayasa mesin pencipta kekaguman. Mesin yang dikendalikan teknokrat, birokrat, kaum pemodal, akademisi partisan atau profesional pengarah mindset massa. Kaum pemasar ini berkerja untuk melahirkan icon-icon kekaguman yang mampu mengguncang kognisi dan afeksi publik. Agendanya jelas : raihan dukungan besar dan masih demi mendapatkan kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Harus Diakhiri

Banyak orang lupa politik adalah dunia kemungkinan, bukan dunia kepastian. Dunia kemungkinan meniscayakan politik tak lebih perjudian nasib seseorang atau kelompok, bahkan bangsa, dalam berbagai tarikan kepentingan yang berujung pada kemenangan atau kekalahan. Keberuntungan sering "tidak berlaku" akibat sistem permainan yang sudah diatur dan ditentukan oleh kekuatan modal dan kepentingan ideologis, baik sekala nasional maupun internasional.

Dalam dunia yang sudah terpecah-pecah dan mengalami detotalisasi nilai-nilai akibat menguatnya matrealisme. Mitos-mitos tentang "ratu adil", pemimpin pro rakyat, pro konstitusi, dan pro kemanfaatan, politik cenderung kurang berlaku. Ini terjadi karena dunia didesain hanya untuk melayani kepentingan para pemodal kuat melalui penerapan prinsip-prinsip kapitalisme dan ekonomi neoliberal.

Bisakah dalam kepentingan kekuatan ekonomi neoiberal ini kita memperjuangkan semangat hidup komunal, kepentingan khalayak dan nasib "kaum marjinal", serta konsep Trisakti (kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian kebudayaan) ? Jargon-jargon mulia itu cenderung berhenti sebagai jagat kata dan sulit tertransformasi menjadi realitas. Ini menunjukan, siapapun yang menjadi presiden kita sulit berbuat banyak dalam tekanan ekonomi neoliberal yang ganas itu. 

Ditengah ketidakberdayaan ekonomi, sosial, politik, dan budaya rakyat tergiring kedalam kubangan konsumerisme dan dipaksa bangga menjadi bangsa konsumen plus juru keplok pasar bebas.

Mengubah paradigma bangsa konsumtif menjadi bangsa produktif bisa dimulai dari kesadaran atas harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang bangga dan mau membela nilai-nilai kebudayaan kita, sekaligus mengaktualisasikan dalam realitas. Problem besar kita adalah tidak percaya diri dan tidak bangga pada kebudayaan sendiri. Akibatnya, kita hanya menjadi juru keplok dan konsumen dalam gagap gemita pasar bebas. Tragisnya, kita tidak lebih dari tukang keplok yang tombok : tombok kebudayaan, tombok tanah air. Menjadi tukan keplok memang harus diakhiri

(Kompas : Indra Tranggono (Pemerhati Kebudayaan). Selasa 9 Desember 2014)

Setelah membaca sepenggal artikel diatas, ane berpikir kembali. Kemudian teringat dengan kebodohan diri sendiri. Atas nama sedikit pengetahuan, sering kali kita dengan bangga dan penuh percaya diri melakukan pembenaran dan pembelaan *bahkan ane pun ikut terlibat dalam kampanye di facebook. Padahal sejatinya, kita tidak pernah tahu apa-apa. Kita sangat mudah diprovokasi baik oleh media dan kampanye-kampanye. Berdasarkan sejarah, memang sudah sejak awal kita adalah bangsa yang gagal, gagal fokus dalam memegang prinsip. Mengaku negara non-blok, tapi pada faktanya... (bisa dibaca ulang buku sejarahnya).

Ane, selain oleh beberapa artikel termasuk artikel diatas, disadarkan juga oleh sebuah kalimat yang dikatakan oleh sohib ane. Dan, itu benar-benar kena banget. Sudut yang selama ini ane tahu tapi ane lupakan.
"jelas terasa dampaknya. Aku tidak mempermasalahkan BBM naik, tapi kenapa sih dampaknya kemana-mana? Semuanya jadi ikut naik. Hal ini juga sangat berdampak pada petani didesa. Harga kebutuhan pokok semakin melonjak, sedangkan penghasilan petani tidak meningkat. Kasihan lah mereka. Kalau subsidi itu ditujukan untuk daerah yang tertinggal, bukan dari subsidi ini sumber kemajuan dari daerah yang tertinggal itu. Bagaimana subsidi ini akan merubah ketertinggalan mereka, sedangkan kita yang disini juga tidak mau terjun menjadi agen of change di daerah tertinggal tersebut. Yang bisa mengubah mereka bukan subsidi, tapi kita. Kita adalah agen of change itu”
Kalimat dari sohib ane yang biasanya pendiam ini, dengan seksama menciptakan syok otak dan hati, yang membuat ane merasa bahwa ane selama ini telah terbawa arus kebodohan yang dibuat oleh KEBOHONGAN PUBLIK.

Kita bangsa tukang keplok, rakyat yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, kita bangsa yang kehilangan tujuan, kita bangsa yang bingung, dan LIMBUNG !!!!

Fakta yang sekarang benar-benar dirasakan, bahwa ketika kita berbicara tentang politik tapi kita tidak terlibat dalam kelompok yang berpolitik itu, sesungguhnya yang kita bicarakan tidak lebih dari kebodohan besar. Ya Alloh, lindungi kami dari kebodohan-kebodohan berikutnya, Amiiin Ya Rabb :)
 

Comments

Populer Post

Penipuan Panggilan Tes Perusahaan Menggunakan Email dan Agen Travel

Resensi Novel Pesona Izmir

Libur Nasional Covid 19