Ijinkan Aku Menjadi Ibu
Musik
mengalun, menyatu dengan setiap tamu yang tengah
menikmati hidangan. Alunannya syahdu, mengundang rindu setiap pembeli untuk
datang kembali. Mereka nampak menikmati setiap hidangan yang telah di pesan. Nuansa D’Lala Resto yang di
buat menyerupai taman turut mempersejuk suasana. Sementara di luar sana, terik
mentari masih menyengat setiap kulit yang terbuka, meninggalkan paparan
radioaktif yang merubah warna melanin menjadi lebih kegelapan.
Hari
itu adalah hari Jumat. D'Lala Resto terbilang lebih ramai dari biasanya. Ditengah
hilir mudik kendaraan, mobil merah yang tak asing berplat AD itu datang
kembali. Ia sering terlihat berkunjung ke resto, aku masih mengingatnya. Pria
berpostur tinggi besar dengan kulit putih keluar dari dalam mobil. Rambutnya
tertata rapi. Pria itu selalu menggunjungi resto dengan wajah merona,
sumringah. Namun hari ini dia nampak berbeda. Kali ini wajahnya tertutup awan,
mendung, dan murung. Setelah lima bulan berlalu, ini pertama kalinya ia datang dengan
buruk rupa, terburu-buru.
Aku yang biasa menyapa kedatangannya pun
turut heran melihat pemandangan ini. Aku begitu hafal dengan jadwal rutin pria
itu mengunjungi resto, seolah menjadi langganan tetap setiap
Jumat. Terkadang aku penasaran siapa gerangan pria itu, tapi apalah artinya,
semua orang datang ke resto jelas untuk makan. Selebihnya tentu saja aku tidak
perlu turut campur. Tugasku disini hanya menjaga kendaraan pelanggan dengan
baik.
“Nyonya
sudah datang No?” tanya pria itu pada ku.
“Sudah
tuan, monggo,” jawabku mempersilahkannya menemui Elisa, owner D’Lala Resto yang
sekaligus merupakan atasanku.
Perempuan
bertubuh sintal dengan rambut tergerai sebahu menyapa kedatangan pria itu. Elisa memang
hanya datang di hari Jumat. Aku lihat Elisa mengajak pria itu masuk kedalam
resto. Baju biru kotak berlengan pendek yang di kenakannya membuat perempuan
ini terlihat lebih muda dan anggun di usianya yang menginjak kepala tiga.
Hari
Jumat memang menjadi hari yang spesial
untuk Elisa. Waktu yang selalu ditunggunya setiap saat. Tidak ada bedanya
seperti anak ABG yang menunggu datangnya malam minggu. Hari Jumat, jam
operasional dinas terbilang lebih pendek dari hari aktif biasa. Biar aku tebak,
pria itu tentu sudah mulai menyalakan klakson mobil Avanza merah keluar dari
kantor dinas tepat pukul 11.00 WIB. Ah, mudah saja menebaknya, dia perlu sholat
jumat dulu sebelum mampir kesini. Sisa waktunya hanya satu jam untuk sampai resto
ini tepat pukul 14.00 WIB. Ah, kau tidak perlu ikut pusing memikirkan hasil
tebakan ku ini.
D’Lala
Resto sebenarnya terlihat biasa, bahkan menu yang di tawarkan pun bisa dengan
mudah di temukan di sejumlah tempat. Maklum saja, tidak sulit menemukan rumah
makan di kota-kota besar. Entah apa yang membuat pria itu rutin setiap Jumat
berkunjung ke D’Lala Resto di banding dengan resto-resto lainnya. Anehnya, ia
juga selalu datang ke resto tanpa mengajak kawan atau staf.
Sebelum
memasuki resto, pakaian dinas sudah di tanggalkan. Bahkan, beberapa kali
aku sempat melihat pria itu menanggalkan pakaian dinasnya di dalam mobil. Kini mereka mulai nampak duduk diantara bangku-bangku VIP resto.
“El” sapa Wahyu, membuka percakapan.
“Iya. Omong-omong, kamu nampak berbeda hari ini”
“Oh ya” jawab Wahyu sambil meminum segelas es yang
dibawakan Elisa.
“Ada masalah di kantor?”
Wahyu hanya tersenyum. Kemudian terdiam cukup lama.
“Apa ada yang ingin kamu bicarakan dengan ku?” tanya
Elisa lima menit kemudian.
“Elisa.. aku.. aku ingin minta maaf padamu” jawab
Wahyu terbata.
Elisa terdiam. Mencoba menebak-nebak kalimat yang akan
pria itu ucapkan.
“Elisa. Aku sedang menghadapi banyak masalah
di kantor.” lanjut Wahyu.
Kemudian meminum sisa minuman yang hanya tinggal
separo gelas.
“Kinerjaku
di dinas di nilai tidak bagus. Aku dicurigai melakukan korupsi uang negara, beberapa
proyek molor, aku di kejar inspektorat El” lanjutnya
setelah menghabiskan minum.
Elisa masih nampak enggan menanggapi. Ia masih
menunggu kalimat selanjutnya.
“Lusi. Kamu tahu El? Istriku, dia mulai mencium hubungan kita. Dia bisa melakukan apa saja jika sampai kecurigaanya pada ku terbukti”
ujar Wahyu dengan wajah cemas.
“Wahyu, apakah kamu masih berselera jika aku ingin mengabarkan sesuatu padamu?”, Elisa
mulai membuka suara.
Wahyu menggernyitkan alis. Menatap Elisa dengan
serius.
“Tentu saja, sampaikan saja” jawabnya kemudian.
“Wahyu, aku hamil”
Wahyu nampak terkejut. Wajahnya memerah.
“Elisa.
Aku sedang menghadapi banyak masalah di kantor.”, potong pria itu seolah tak
tertarik dengan apa yang akan diceritakan Elisa.
Suasana
hening sesaat.
“Elisa,
aku tidak memiliki pilihan lain..aku..aku harap kamu mengerti atas keputusan
ini.” Ujar Wahyu terbata.
“Wahyu..aku..”
“Semua
harus kita ahiri Elisa..”
Obrolah
terhenti selama sepuluh menit. Kedua
si joli itu hanya saling pandang, sunyi. Berkali-kali Elisa memesan jus,
berharap jus itu dapat menetupi gejolak dalam hatinya meski sesaat saja.
“Elisa..” ujar pria itu, kembali membuka percakapan.
Elisa masih terdiam. Memandang ke segala sisi ruangan.
Mencoba mencari jalan keluar. Kemudian memesan jus lagi.
“Aku tidak bisa El. Aku tidak mau
hubungan kita tercium oleh media, apalagi
aparat. Kau tentu tahu ini berbahaya buat kita semua”
Elisa masih terdiam. Kini ia telah menghabiskan tiga
gelas jus.
“Kita bisa hancur
Elisa” ujar Wahyu dengan raut wajah yang mampu
menggetarkan hati Elisa.
Elisa
masih membisu. Ia tahu bahwa ini adalah resiko dari keputusannya.
Selama ini ia tak bisa mengendalikan perasaannya terhadap Wahyu. Sejatinya sejak awal dia tahu, bahwa ini adalah ahir yang paling mungkin
terjadi.
Elisa
mulai tidak dapat menahan buncahan air mata yang sedari tadi di bendungnya. Tapi itu tak cukup mampu mengubah keputusan Wahyu. Tak lama kemudian, Wahyu menaruh amplop tebal diatas meja makan.
“Maafkan aku
Elisa. Ini memang tidak seberapa. Tapi cukup untuk mengugurkan kandungan mu,”
Wahyu
kemudian keluar dari resto, tergesa,
meninggalkan Elisa seorang diri. Air mata Elisa semakin membuncah. Ulu hatinya
terasa begitu perih. Ia menangis sejadi-jadinya seiring menjauhnya Wahyu
hingga batas tak terhingga dari penglihatannya.
Sedikitpun, Elisa tidak pernah berpikir akan
mengugurkan kandungannya. Elisa ingin menjadi seorang ibu dari jabang bayi yang
di kandungnya. Elisa ingin membesarkannya, apapun resikonya. Meski harus
menjadi orang tua tunggal. Mungkin dia bukan mahluk suci seperti Maria, tapi
bukankah pernah ada yang berhasil menjadi orang tua tunggal dengan putra sekuat
Isa? Ia mungkin bukan Maria, tapi ia sungguh tak bisa jika harus membunuh
bayinya.
Cintanya
pada Wahyu begitu besar. Dan cinta itu adalah alasan yang membuatnya mampu
menghapus segala kebencian dalam hatinya. Elisa teramat menyadari ini adalah
ganjaran untuknya. Ia telah mencintai pria yang telah
memiliki istri dan putra. Elisa jatuh cinta pada Wahyu
sejak pertama kali Wahyu mengunjungi restonya pada hari Jumat lima
bulan yang lalu. Usai Elisa masih terbilang muda, terpaut 10 tahun dari Wahyu.
Ia memahami bahwa hubungan cinta dengannya tidak bermasa depan. Tetapi
karena takdirnya telah membawanya sampai disini, ia
ingin menciptakan masa depannya sendiri dimulai dari detik ini.
Hari
itu, matahari sudah tak lagi menampakan pesonanya. Cahaya hanya bersumber dari
lampu-lampu yang menyeruak keluar dari rumah-rumah penduduk. Bintang pun
malu-malu berpijar. Bulan pun kelabu tertutup awan, mendung,
menutupi pesonanya.
Braaaak.. Braaak.. Braaak.. terdengar suara benturan keras hingga ke
luar rumah, saut menyaut, berdentingan menubruk dinding.
“Bajingan
pria itu. Bangsat!”
Teriakan
itu melengking tajam, lengkingan itu terdengar hingga beberapa meter dari rumah
yang terletak tak jauh dari sungai bengawan.
“Siapapun pria itu, pria itu bangsat El” lanjut Sutini, ibu Elisa.
“Ma, Elisa akan membesarkan anak
ini. Elisa akan membesarkan bayi ini” tandas Elisa.
“Apa
kamu tidak berpikir sebelumnya? lalu bagaimana nanti kata orang, bagaimana jika
nanti anak mu bertanya siapa ayahnya!” tanya Sutini
dengan nada semakin meninggi.
“Elisa tidak akan peduli Ma. Elisa akan menutup
telinga seumur hidup Elisa”
“Dasar keras kepala!”
Plaaakk. Tamparan mendarat di pipi kanan Elisa. Suasana
semakin menegang. Masalah baru terus datang bertubi meminta di selesaikan.
Bukan hanya soal ayah bayi yang di kandungnya, tetapi perkara meyakinkan
keluarga besarnya untuk merawat anaknya yang lahir tanpa suami jelas bukan
perkara yang mudah.
Tetapi, Elisa telah membulatkan tekadnya. Ia mantap
untuk tidak memberitahu siapapun terkait siapa ayah dari bayinya. Elisa terus terbayang wajah ibunya, wajah yang membuatnya
semakin berat hati.
“Elisa
akan membesarkannya dengan cinta, Ma. Elisa akan membesarkannya, dia akan
tumbuh dengan baik. Terimalah anak ini menjadi bagian keluarga besar kita Ma”
pinta Elisa pada Sutini.
Elisa
tersedu hingga perih menjalar di pelupuk matanya. Demi mendapat restu Sutini,
Elisa merengek dan bersimpuh di bawah kakinya. Meminta maaf. Sutini memalingkan
muka. Sutini perempuan yang keras. Jika ia telah mengambil keputusan, tidak
mudah bagi siapapun membujuknya, meskipun yang memohon adalah putri kandungnya
sendiri.
Posisi singel parent yang harus ia
jalani membuatnya menjadi lebih keras mendidik
dua anaknya. Ayah Elisa meninggal saat Elisa masih duduk di bangku
sekolah dasar. Tetapi,
Sutini tetaplah seorang perempuan dan seorang ibu. Sutini tidak sampai hati jika harus mengusir Elisa. Tidak hanya Sutini yang
tidak bisa menerima kehadiran jabang bayi tanpa suami itu, tetangga pun sering
kali mencibir status dan kondisi Elisa.
Setelah kejadian malam itu, Elisa mengalami
depresi. Setiap hari Elisa mengurung diri di kamar, nafsu makannya menurun
drastis. Tidak seperti Elisa yang biasanya selalu energik, kini Elisa pun terlihat
seperti orang bingung, linglung. Mengurung diri, menarik diri dari masyarakat.
Sehari-hari, Sutini meminta tolong adik Elisa, Kuncoro untuk menengok Elisa di
kamar. Memantau kondisinya. Namun, setelah sekian hari kondisi mental dan
psikis Elisan tidak kunjung membaik.
Selama berminggu-minggu Elisa mengurung diri dikamar.
Ia enggan menerima kiriman makanan dari Sutini. Hingga akhirnya, Elisa jatuh
sakit. Terahir di temui, Elisa sudah pingsan di kamar. Tak menunggu waktu lama,
mengetahui kejadian ini, Sutini segera melarikan Elisa ke rumah sakit terdekat.
Dokter mengatakan Elisa terkena dehidrasi dan
penurunan tekanan darah yang membuatnya tak sadarkan diri. Namun sejauh ini,
jabang bayi yang dikandung Elisa dinyatakan masih selamat serta pertumbuhannya
masih berjalan dengan baik.
“Elisa akan segera membaik Bu. Putri Ibu harus terus
di pantau gizinya. Dalam kondisi seperti ini, putri Anda tidak boleh depresi. Ini
demi keselamatan keduanya” ujar Dokter pada Sutini.
Setelah melewati masa-masa sulit selama hampir satu
bulan, jabang bayi dalam kandungan Elisa dinyatakan baik-baik saja. Ini tentu
bukan keadaan biasa. Bayi itu di takdirkan menjadi bayi yang kuat, pikir Sutini
waktu itu.
Sutini berjalan menuju ruang nomor 242, tempat Elisa
di rawat. Melihat keadaan putri pertamanya seperti ini, tentu Sutini iba. Hingga
akhirnya hatinya pun tersentuh untuk menerima kondisi Elisa berserta jabang
bayi yang tengah dikandungnya.
“Anakku,
Putri ku Elisa..” ujar Sutini
terisak sambil memegang tangan putrinya yang masih pingsan.
Elisa
tak merespon. Sunyi. Sutini pun tak tahan melihat kondisi putri sulungnya. Satu
bulan sudah sejak pertama kali Elisa di ketahui hamil. Satu bulan pula Wahyu,
ayah dari bayi Elisa tidak lagi menghubungi.
Tentang Wahyu, Elisa pun lebih memilih membisu.
Toloooooong
! Diruangan itu seolah teriakannya hampa. Terpantul-pantul oleh dinding yang
kokoh. Terpenjara. Termakan oleh gelap yang menakutkan. Terasingkan. Ia tak
tahu mengapa ia disini. Sendiri. Sunyi. Elisa tak berdaya menyembunyikan rasa
takut dalam kesendiriannya. Perlahan sedesir guratan sinar memantul-mantul. Ia
mulai mampu menangkap ada sosok lain di ruangan yang sama.
Namun,
Elisa tak bisa dengan jelas melihat sosoknya. Sosok itu berbaju putih, bersih.
Seorang laki-laki paruh baya, sosok itu terus mendekat. Tanpa
disadari, pundak Elisa telah kuyup oleh peluh yang membanjir oleh sebab rasa
takutanya. Sosok berbaju putih itu terus mendekati Elisa. Sosok itu berada
tepat di depan Elisa. Elisa tertegun.
“Jangan
sia-siakan anakmu. Alloh telah menganugrahkan
kharisma-Nya padanya. Baik masa kanak-kanaknya maupun saat
dia dewasa nanti, ia akan menjadi pengayom yang senantiasa
menyejukan hati mu. Berilah nama putrimu Salsabila.” jelas sosok itu sambil
menepuk-nepuk pundak Elisa.
Elisa
masih terdiam. Sorot mata manusia berjubah putih itu begitu indah. Kehadirannya di ruangan
gelap, sunyi, terasingkan dan menakutkan ini membuatnya merasa lebih baik.
Sosok itu tersenyum simetris kemudian beranjak meninggalkan Elisa. Pelan, jauh… jauh… hingga
penglihatan Elisa tak mampu lagi menjangkaunya.
“Putriku
Elisa..”
Sayup-sayup
Elisa mendengar suara itu. Perlahan ia mencoba membuka matanya. Ia melihat
dirinya berada di ruangan kecil dengan infus di tangannya. Ia baru saja tersadar
pingsannya seja beberapa jam lalu.
Elisa kemudian menerawang sekitarnya,
disampingnya ada wnita yang terlihat begitu anggun. Ia sosok dewi fortuna
utusan Tuhan yang tak pernah henti menemani dan menjaganya. Ia mulai menyadari
bahwa apa yang baru saja dialaminya ternyata adalah mimpi.
“Ma..”
Sutini
menggenggan tangan putrinya begitu erat. Tatapan mereka saling bertemu. Sutini
mengangguk ringan. Anggukan yang berarti keikhlasan yang mendalam dan
penerimaan terhadap keadaan Elisa. Sutini kemudian
mencium kening Elisa. Malam ini, Elisa ingin menagis dengan tenang
dipelukan Sutini, membebaskan diri dari peluh rasa yang terasa begitu berat
diembannya. Ia sangat bersyukur karena kini Sutini telah menerima
semuanya.
Elisa
meyakini, sekeras apapun sifat seorang ibu, ibu yang
begitu tulus mencintainya akan selalu ada disisinya. Ia akan selalu hadir
menemani, melewati saat-saat sulit dalam hidupnya.
Seberapa keras pun hati seorang ibu, ia tetap adalah Ibu yang
melahirkannya. Sekarang, Elisa
hanya perlu tersenyum menjalani hari-hari.
Memberikan yang terbaik untuk jabang bayi yang dikandungnya. Melanjutkan
hidup untuk buah hatinya.
Kini
kandungan Elisa sudah hampir melewati tri wulan pertama. Perlahan perutnya
mulai terlihat membesar. Elisa pun mengalami gejala-gejala kehamilan yang biasa
dialami wanita. Namun, sress yang dialami Elisa atas apa yang terjadi di
kehidupannya membuat Elisa tidak pernah lagi baik-baik saja.
D’Lala Resto kini di urus oleh
Kuncoro, sementara menggantikan Elisa. Seiring berjalannya waktu, kondisi
Elisa jelas menggugah nurani Sutini. Seperti wanita
hamil pada umumnya, Elisa tentu membutuhkan dukungan, kasih sayang, perhatian
yang sejatinya tidak mungkin ia dapatkan dari ayah jabang bayi. Sutini tentu
memahami bahwa yang putrinya butuhkan adalah dukungan darinya, ibu kandungnya.
Cahaya mulai menyinari lubuk hati Sutini. Kasih sayang yang terselubung dalam
dirinya mulai menyembul ke permukaan. Sutini kini
menerima Elisa dan siap mendukungnya dari depan maupun belakang.
Enam
bulan setelah keluar dari rumah sakit, Elisa
melahirkan anak pertamanya. Bayi mungil itu disambut Sutini dan Kuncoro dengan
rasa bahagia.
Perkenalkan, aku adalah Juwono, tetangga dan
kawan dekat Sutini. Sekaligus, aku juga adalah Juru
Parkir di D’Lala Resto.

Comments
Post a Comment