Ijinkan Aku Menjadi Ibu


foto ilustrasi dari google.com

Musik mengalun, menyatu dengan setiap tamu yang tengah menikmati hidangan. Alunannya syahdu, mengundang rindu setiap pembeli untuk datang kembali. Mereka nampak menikmati setiap hidangan yang telah di pesan. Nuansa D’Lala Resto yang di buat menyerupai taman turut mempersejuk suasana. Sementara di luar sana, terik mentari masih menyengat setiap kulit yang terbuka, meninggalkan paparan radioaktif yang merubah warna melanin menjadi lebih kegelapan.

Hari itu adalah hari Jumat. D'Lala Resto terbilang lebih ramai dari biasanya. Ditengah hilir mudik kendaraan, mobil merah yang tak asing berplat AD itu datang kembali. Ia sering terlihat berkunjung ke resto, aku masih mengingatnya. Pria berpostur tinggi besar dengan kulit putih keluar dari dalam mobil. Rambutnya tertata rapi. Pria itu selalu menggunjungi resto dengan wajah merona, sumringah. Namun hari ini dia nampak berbeda. Kali ini wajahnya tertutup awan, mendung, dan murung. Setelah lima bulan berlalu, ini pertama kalinya ia datang dengan buruk rupa, terburu-buru.

Aku yang biasa menyapa kedatangannya pun turut heran melihat pemandangan ini. Aku begitu hafal dengan jadwal rutin pria itu mengunjungi resto, seolah menjadi langganan tetap setiap Jumat. Terkadang aku penasaran siapa gerangan pria itu, tapi apalah artinya, semua orang datang ke resto jelas untuk makan. Selebihnya tentu saja aku tidak perlu turut campur. Tugasku disini hanya menjaga kendaraan pelanggan dengan baik.

“Nyonya sudah datang No?” tanya pria itu pada ku.
“Sudah tuan, monggo,” jawabku mempersilahkannya menemui Elisa, owner D’Lala Resto yang sekaligus merupakan atasanku.

Perempuan bertubuh sintal dengan rambut tergerai sebahu menyapa kedatangan pria itu. Elisa memang hanya datang di hari Jumat. Aku lihat Elisa mengajak pria itu masuk kedalam resto. Baju biru kotak berlengan pendek yang di kenakannya membuat perempuan ini terlihat lebih muda dan anggun di usianya yang menginjak kepala tiga. 

Hari Jumat memang menjadi hari yang spesial untuk Elisa. Waktu yang selalu ditunggunya setiap saat. Tidak ada bedanya seperti anak ABG yang menunggu datangnya malam minggu. Hari Jumat, jam operasional dinas terbilang lebih pendek dari hari aktif biasa. Biar aku tebak, pria itu tentu sudah mulai menyalakan klakson mobil Avanza merah keluar dari kantor dinas tepat pukul 11.00 WIB. Ah, mudah saja menebaknya, dia perlu sholat jumat dulu sebelum mampir kesini. Sisa waktunya hanya satu jam untuk sampai resto ini tepat pukul 14.00 WIB. Ah, kau tidak perlu ikut pusing memikirkan hasil tebakan ku ini.

D’Lala Resto sebenarnya terlihat biasa, bahkan menu yang di tawarkan pun bisa dengan mudah di temukan di sejumlah tempat. Maklum saja, tidak sulit menemukan rumah makan di kota-kota besar. Entah apa yang membuat pria itu rutin setiap Jumat berkunjung ke D’Lala Resto di banding dengan resto-resto lainnya. Anehnya, ia juga selalu datang ke resto tanpa mengajak kawan atau staf.

Sebelum memasuki resto, pakaian dinas sudah di tanggalkan. Bahkan, beberapa kali aku sempat melihat pria itu menanggalkan pakaian dinasnya di dalam mobil. Kini mereka mulai nampak duduk diantara bangku-bangku VIP resto.

“El” sapa Wahyu, membuka percakapan.
“Iya. Omong-omong, kamu nampak berbeda hari ini”
“Oh ya” jawab Wahyu sambil meminum segelas es yang dibawakan Elisa.
“Ada masalah di kantor?”

Wahyu hanya tersenyum. Kemudian terdiam cukup lama.

“Apa ada yang ingin kamu bicarakan dengan ku?” tanya Elisa lima menit kemudian.
“Elisa.. aku.. aku ingin minta maaf padamu” jawab Wahyu terbata.

Elisa terdiam. Mencoba menebak-nebak kalimat yang akan pria itu ucapkan.

Elisa. Aku sedang menghadapi banyak masalah di kantor.” lanjut Wahyu.

Kemudian meminum sisa minuman yang hanya tinggal separo gelas.

“Kinerjaku di dinas di nilai tidak bagus. Aku dicurigai melakukan korupsi uang negara, beberapa proyek molor, aku di kejar inspektorat El” lanjutnya setelah menghabiskan minum.

Elisa masih nampak enggan menanggapi. Ia masih menunggu kalimat selanjutnya.

Lusi. Kamu tahu El? Istriku, dia mulai mencium hubungan kita. Dia bisa melakukan apa saja jika sampai kecurigaanya pada ku terbukti” ujar Wahyu dengan wajah cemas.  
“Wahyu, apakah kamu masih berselera jika aku ingin mengabarkan sesuatu padamu?”, Elisa mulai membuka suara.

Wahyu menggernyitkan alis. Menatap Elisa dengan serius.

“Tentu saja, sampaikan saja” jawabnya kemudian.
“Wahyu, aku hamil”

Wahyu nampak terkejut. Wajahnya memerah.

“Elisa. Aku sedang menghadapi banyak masalah di kantor.”, potong pria itu seolah tak tertarik dengan apa yang akan diceritakan Elisa.

Suasana hening sesaat.

“Elisa, aku tidak memiliki pilihan lain..aku..aku harap kamu mengerti atas keputusan ini.” Ujar Wahyu terbata.
“Wahyu..aku..”
“Semua harus kita ahiri Elisa..”

Obrolah terhenti selama sepuluh menit. Kedua si joli itu hanya saling pandang, sunyi. Berkali-kali Elisa memesan jus, berharap jus itu dapat menetupi gejolak dalam hatinya meski sesaat saja.  

Elisa..” ujar pria itu, kembali membuka percakapan.

Elisa masih terdiam. Memandang ke segala sisi ruangan. Mencoba mencari jalan keluar. Kemudian memesan jus lagi.

“Aku tidak bisa El. Aku tidak mau hubungan kita tercium oleh media, apalagi aparat. Kau tentu tahu ini berbahaya buat kita semua”

Elisa masih terdiam. Kini ia telah menghabiskan tiga gelas jus.

“Kita bisa hancur Elisa” ujar Wahyu dengan raut wajah yang mampu menggetarkan hati Elisa.

Elisa masih membisu. Ia tahu bahwa ini adalah resiko dari keputusannya. Selama ini ia tak bisa mengendalikan perasaannya terhadap Wahyu. Sejatinya sejak awal dia tahu, bahwa ini adalah ahir yang paling mungkin terjadi.

Elisa mulai tidak dapat menahan buncahan air mata yang sedari tadi di bendungnya. Tapi itu tak cukup mampu mengubah keputusan Wahyu. Tak lama kemudian, Wahyu menaruh amplop tebal diatas meja makan.

Maafkan aku Elisa. Ini memang tidak seberapa. Tapi cukup untuk mengugurkan kandungan mu,”

Wahyu kemudian keluar dari resto, tergesa, meninggalkan Elisa seorang diri. Air mata Elisa semakin membuncah. Ulu hatinya terasa begitu perih. Ia menangis sejadi-jadinya seiring menjauhnya Wahyu hingga batas tak terhingga dari penglihatannya.

Sedikitpun, Elisa tidak pernah berpikir akan mengugurkan kandungannya. Elisa ingin menjadi seorang ibu dari jabang bayi yang di kandungnya. Elisa ingin membesarkannya, apapun resikonya. Meski harus menjadi orang tua tunggal. Mungkin dia bukan mahluk suci seperti Maria, tapi bukankah pernah ada yang berhasil menjadi orang tua tunggal dengan putra sekuat Isa? Ia mungkin bukan Maria, tapi ia sungguh tak bisa jika harus membunuh bayinya.

Cintanya pada Wahyu begitu besar. Dan cinta itu adalah alasan yang membuatnya mampu menghapus segala kebencian dalam hatinya. Elisa teramat menyadari ini adalah ganjaran untuknya. Ia telah mencintai pria yang telah memiliki istri dan putra. Elisa jatuh cinta pada Wahyu sejak pertama kali Wahyu mengunjungi restonya pada hari Jumat lima bulan yang lalu. Usai Elisa masih terbilang muda, terpaut 10 tahun dari Wahyu. Ia memahami bahwa hubungan cinta dengannya tidak bermasa depan. Tetapi karena takdirnya telah membawanya sampai disini, ia ingin menciptakan masa depannya sendiri dimulai dari detik ini.

Hari itu, matahari sudah tak lagi menampakan pesonanya. Cahaya hanya bersumber dari lampu-lampu yang menyeruak keluar dari rumah-rumah penduduk. Bintang pun malu-malu berpijar. Bulan pun kelabu tertutup awan, mendung, menutupi pesonanya.

Braaaak.. Braaak.. Braaak.. terdengar suara benturan keras hingga ke luar rumah, saut menyaut, berdentingan menubruk dinding.

“Bajingan pria itu. Bangsat!”

Teriakan itu melengking tajam, lengkingan itu terdengar hingga beberapa meter dari rumah yang terletak tak jauh dari sungai bengawan.

Siapapun pria itu, pria itu bangsat El” lanjut Sutini, ibu Elisa.
 “Ma, Elisa akan membesarkan anak ini. Elisa akan membesarkan bayi ini” tandas Elisa.
“Apa kamu tidak berpikir sebelumnya? lalu bagaimana nanti kata orang, bagaimana jika nanti anak mu bertanya siapa ayahnya!” tanya Sutini dengan nada semakin meninggi.
“Elisa tidak akan peduli Ma. Elisa akan menutup telinga seumur hidup Elisa”
“Dasar keras kepala!”

Plaaakk. Tamparan mendarat di pipi kanan Elisa. Suasana semakin menegang. Masalah baru terus datang bertubi meminta di selesaikan. Bukan hanya soal ayah bayi yang di kandungnya, tetapi perkara meyakinkan keluarga besarnya untuk merawat anaknya yang lahir tanpa suami jelas bukan perkara yang mudah.

Tetapi, Elisa telah membulatkan tekadnya. Ia mantap untuk tidak memberitahu siapapun terkait siapa ayah dari bayinya. Elisa terus terbayang wajah ibunya, wajah yang membuatnya semakin berat hati.

“Elisa akan membesarkannya dengan cinta, Ma. Elisa akan membesarkannya, dia akan tumbuh dengan baik. Terimalah anak ini menjadi bagian keluarga besar kita Mapinta Elisa pada Sutini.

Elisa tersedu hingga perih menjalar di pelupuk matanya. Demi mendapat restu Sutini, Elisa merengek dan bersimpuh di bawah kakinya. Meminta maaf. Sutini memalingkan muka. Sutini perempuan yang keras. Jika ia telah mengambil keputusan, tidak mudah bagi siapapun membujuknya, meskipun yang memohon adalah putri kandungnya sendiri.

Posisi singel parent yang harus ia jalani membuatnya menjadi lebih keras mendidik dua anaknya. Ayah Elisa meninggal saat Elisa masih duduk di bangku sekolah dasar. Tetapi, Sutini tetaplah seorang perempuan dan seorang ibu. Sutini tidak sampai hati jika harus mengusir Elisa. Tidak hanya Sutini yang tidak bisa menerima kehadiran jabang bayi tanpa suami itu, tetangga pun sering kali mencibir status dan kondisi Elisa.

Setelah kejadian malam itu, Elisa mengalami depresi. Setiap hari Elisa mengurung diri di kamar, nafsu makannya menurun drastis. Tidak seperti Elisa yang biasanya selalu energik, kini Elisa pun terlihat seperti orang bingung, linglung. Mengurung diri, menarik diri dari masyarakat. Sehari-hari, Sutini meminta tolong adik Elisa, Kuncoro untuk menengok Elisa di kamar. Memantau kondisinya. Namun, setelah sekian hari kondisi mental dan psikis Elisan tidak kunjung membaik.

Selama berminggu-minggu Elisa mengurung diri dikamar. Ia enggan menerima kiriman makanan dari Sutini. Hingga akhirnya, Elisa jatuh sakit. Terahir di temui, Elisa sudah pingsan di kamar. Tak menunggu waktu lama, mengetahui kejadian ini, Sutini segera melarikan Elisa ke rumah sakit terdekat.

Dokter mengatakan Elisa terkena dehidrasi dan penurunan tekanan darah yang membuatnya tak sadarkan diri. Namun sejauh ini, jabang bayi yang dikandung Elisa dinyatakan masih selamat serta pertumbuhannya masih berjalan dengan baik.

“Elisa akan segera membaik Bu. Putri Ibu harus terus di pantau gizinya. Dalam kondisi seperti ini, putri Anda tidak boleh depresi. Ini demi keselamatan keduanya” ujar Dokter pada Sutini.

Setelah melewati masa-masa sulit selama hampir satu bulan, jabang bayi dalam kandungan Elisa dinyatakan baik-baik saja. Ini tentu bukan keadaan biasa. Bayi itu di takdirkan menjadi bayi yang kuat, pikir Sutini waktu itu.

Sutini berjalan menuju ruang nomor 242, tempat Elisa di rawat. Melihat keadaan putri pertamanya seperti ini, tentu Sutini iba. Hingga akhirnya hatinya pun tersentuh untuk menerima kondisi Elisa berserta jabang bayi yang tengah dikandungnya.

“Anakku, Putri ku Elisa..ujar Sutini terisak sambil memegang tangan putrinya yang masih pingsan.

Elisa tak merespon. Sunyi. Sutini pun tak tahan melihat kondisi putri sulungnya. Satu bulan sudah sejak pertama kali Elisa di ketahui hamil. Satu bulan pula Wahyu, ayah dari bayi Elisa tidak lagi menghubungi. Tentang Wahyu, Elisa pun lebih memilih membisu.

Toloooooong ! Diruangan itu seolah teriakannya hampa. Terpantul-pantul oleh dinding yang kokoh. Terpenjara. Termakan oleh gelap yang menakutkan. Terasingkan. Ia tak tahu mengapa ia disini. Sendiri. Sunyi. Elisa tak berdaya menyembunyikan rasa takut dalam kesendiriannya. Perlahan sedesir guratan sinar memantul-mantul. Ia mulai mampu menangkap ada sosok lain di ruangan yang sama.

Namun, Elisa tak bisa dengan jelas melihat sosoknya. Sosok itu berbaju putih, bersih. Seorang laki-laki paruh baya, sosok itu terus mendekat. Tanpa disadari, pundak Elisa telah kuyup oleh peluh yang membanjir oleh sebab rasa takutanya. Sosok berbaju putih itu terus mendekati Elisa. Sosok itu berada tepat di depan Elisa. Elisa tertegun.

“Jangan sia-siakan anakmu. Alloh telah menganugrahkan kharisma-Nya padanya. Baik masa kanak-kanaknya maupun saat dia dewasa nanti, ia akan menjadi pengayom yang senantiasa menyejukan hati mu. Berilah nama putrimu Salsabila.” jelas sosok itu sambil menepuk-nepuk pundak Elisa.

Elisa masih terdiam. Sorot mata manusia berjubah putih itu begitu indah. Kehadirannya di ruangan gelap, sunyi, terasingkan dan menakutkan ini membuatnya merasa lebih baik. Sosok itu tersenyum simetris kemudian beranjak meninggalkan Elisa. Pelan, jauh… jauh… hingga penglihatan Elisa tak mampu lagi menjangkaunya.

“Putriku Elisa..”

Sayup-sayup Elisa mendengar suara itu. Perlahan ia mencoba membuka matanya. Ia melihat dirinya berada di ruangan kecil dengan infus di tangannya. Ia baru saja tersadar pingsannya seja beberapa jam lalu.

Elisa kemudian menerawang sekitarnya, disampingnya ada wnita yang terlihat begitu anggun. Ia sosok dewi  fortuna utusan Tuhan yang tak pernah henti menemani dan menjaganya. Ia mulai menyadari bahwa apa yang baru saja dialaminya ternyata adalah mimpi.

“Ma..”

Sutini menggenggan tangan putrinya begitu erat. Tatapan mereka saling bertemu. Sutini mengangguk ringan. Anggukan yang berarti keikhlasan yang mendalam dan penerimaan terhadap keadaan Elisa. Sutini kemudian mencium kening Elisa. Malam ini, Elisa ingin menagis dengan tenang dipelukan Sutini, membebaskan diri dari peluh rasa yang terasa begitu berat diembannya. Ia sangat bersyukur karena kini Sutini telah menerima semuanya.

Elisa meyakini, sekeras apapun sifat seorang ibu, ibu yang begitu tulus mencintainya akan selalu ada disisinya. Ia akan selalu hadir menemani, melewati saat-saat sulit dalam hidupnya. Seberapa keras pun hati seorang ibu, ia tetap adalah Ibu yang melahirkannya. Sekarang, Elisa hanya perlu tersenyum menjalani hari-hari. Memberikan yang terbaik untuk jabang bayi yang dikandungnya. Melanjutkan hidup untuk buah hatinya.

Kini kandungan Elisa sudah hampir melewati tri wulan pertama. Perlahan perutnya mulai terlihat membesar. Elisa pun mengalami gejala-gejala kehamilan yang biasa dialami wanita. Namun, sress yang dialami Elisa atas apa yang terjadi di kehidupannya membuat Elisa tidak pernah lagi baik-baik saja.

D’Lala Resto kini di urus oleh Kuncoro, sementara menggantikan Elisa. Seiring berjalannya waktu, kondisi Elisa jelas menggugah nurani Sutini. Seperti wanita hamil pada umumnya, Elisa tentu membutuhkan dukungan, kasih sayang, perhatian yang sejatinya tidak mungkin ia dapatkan dari ayah jabang bayi. Sutini tentu memahami bahwa yang putrinya butuhkan adalah dukungan darinya, ibu kandungnya. Cahaya mulai menyinari lubuk hati Sutini. Kasih sayang yang terselubung dalam dirinya mulai menyembul ke permukaan. Sutini kini menerima Elisa dan siap mendukungnya dari depan maupun belakang.

Enam bulan setelah keluar dari rumah sakit, Elisa melahirkan anak pertamanya. Bayi mungil itu disambut Sutini dan Kuncoro dengan rasa bahagia.


Perkenalkan, aku adalah Juwono, tetangga dan kawan dekat Sutini. Sekaligus, aku juga adalah Juru Parkir di D’Lala Resto. 

Comments

Populer Post

Penipuan Panggilan Tes Perusahaan Menggunakan Email dan Agen Travel

Resensi Novel Pesona Izmir

Libur Nasional Covid 19