Siluet Senja di Fakultas Seni
(foto ilustrasi google.com)
Bil, kamera kamu kembalikan besok saja
Kamu simpan baik-baik ya
Segera ku lanjutkan langkah. Siang itu cuaca cerah. Seperti biasa, sebelum pulang kuliah aku selalu mampir ke fakultas seni. Sejak beberapa hari yang lalu aku memang sering bertandang ke fakultas ini untuk belajar fotografi. Seperti banyak orang ketahui, fakultas seni adalah gudangnya anak-anak nyeleneh yang kreatif dan produktif. Di bidang seni fotografi mereka juga ahlinya. Jadi, tak salah jika aku memilih anak fakultas seni sebagai guru fotografi.
Pertama kali memasuki fakultas ini, ada sensasi aneh tersendiri. Di pintu masuk fakultas, ku dapati lukisan-lukisan. Unik sih, tapi menurutku sangat tidak terawat dan kotor, membuatnya nampak usang. Pertama kali melihat lukisan ini, aku lari terbirit-birit karena nampak mengerikan. Beberapa langkah dari lokasi lukisan merupakan lokasi sekretariat anak-anak seni. Kurang lebih berjarak sekitar lima belas meter dari sekretariat sudah tercium kepulan asap nikotin bercampur dengan suara musik rock yang menggelegar.
“hai bro”
Tiba-tiba orang di balik pintu
menyapa.
“hai..”, balas ku santai.
“Wildan tidak ada”'
“what?? Siapa yang cari dia”
“what?? Siapa yang cari dia”
“oh, gak nyari Wildan ya. Biasanya kamu nyari
dia”
“tidak juga.”
“sebentar lagi Wildan datang Bil,
tenang”, ujar Lukman kemudian.
Sial. Padahal aku tidak bermaksud mencari Wildan. Aku bisa belajar
fotografi dengan siapa pun dari mereka. Tapi Lukman selalu saja menganjurkan ku belajar
pada Wildan. Seolah memang tidak ada orang lain.
Akun pun menunggu Wildan datang. Memang aku akui, diantara yang lain, kemampuan seni fotografi Wildan lebih mumpuni. Bebebrapa kali aku melihat hasil jepretan tangannya, memang tak nampak matir.
"Bil, suka minum gak kamu?", suara Tangguh dari dalam sekretariat
"Kenapa Guh?"
"Kami ada agenda rutin, mungkin kamu tertarik bergabung,"
"Kapan-kapan saja, Guh"
"Wildan juga ikut lho"
Aku tidak menjawabnya. Hanya menanggapi dengan senyum ringan. Hingga beberapa menit kemudian..
Akun pun menunggu Wildan datang. Memang aku akui, diantara yang lain, kemampuan seni fotografi Wildan lebih mumpuni. Bebebrapa kali aku melihat hasil jepretan tangannya, memang tak nampak matir.
"Bil, suka minum gak kamu?", suara Tangguh dari dalam sekretariat
"Kenapa Guh?"
"Kami ada agenda rutin, mungkin kamu tertarik bergabung,"
"Kapan-kapan saja, Guh"
"Wildan juga ikut lho"
Aku tidak menjawabnya. Hanya menanggapi dengan senyum ringan. Hingga beberapa menit kemudian..
“hai Bil, sudah lama?”, seseorang
menepuk pundak ku.
“Wildan. Belum begitu lama”
“ada apa?”
“biasa. Tolong ajari aku teknik ini. Aku
sudah coba berkali-kali, tapi hasilnya belum sesuai harapan,”
“oh..begini Bila..”
Wildan duduk di samping ku, menjelaskan
teknik fotografi yang ku maksud. Wildan menjelaskan dengan penuh kesabaran. Berulng-ulang, sampai aku
nampak mengerti. Wildan memang orang yang ramah dan suka berbagi ilmu. Wildan selalu menanggapi sekali pun yang aku
tanyakan teramat remeh. Sesekali, ia juga membagikan tips fotografi.
“besok kita hunting bareng aja. Biar
lebih jelas,” pinta Wildan kemudian.
“oh..Okay. Dimana?”
“taman satwa aja, yang deket. Kamu
bisa jam berapa?”
“siang sepertinya. Pagi aku ada
kuliah”
“oh ya, oke kalau begitu’
“kamu gak ada kuliah?”
“besok aku free. Besok bonceng aku aja”
“hmmm..siap”
Kami melanjutkan perbincangan. Sesekali Wildan memamerkan hasil jepretannya. Nampak indah, meski
dia bilang hanya diambil dengan kamera handphone.
“kita tidak boleh tergantung dengan
alat. Karena yang terpenting adalah keahlian pengguna, bukan alatnya. Memakai
kamera apa pun, kalau dia memang sudah ahli di bidangnya, hasilnya pasti
bagus,” katanya.
“suka banget fotografi ya Dan?”, tanya
ku menyelidik.
“hobi”
“kenapa tidak jadi fotografer media
saja?”
“tidak tertarik.”
“lebih nyaman freelance?”
Wildan menanggapi dengan senyum
datar. Joan keluar dari sekretariat, bergabung dengan kami.
“Bil..aku boleh bergabung dengan media
pers mu?” tanya Joan kemudian.
“Boleh saja, nanti coba aku
rekomendasikan kamu ke redaktur”
“Okay”
Wildan beranjak ke dalam sekretariat. Mengambil sesuatu, lalu duduk di depan pintu. Tak terasa jam ditangan ku sudah menunjukan pukul 17.00
WIB.
“Dan, aku duluan ya. Mendung, takut
hujan."
"yaa..hati-hati bro", jawab anak-anak di sekretariat kompak.
Wildan mengantarkan ku sampai di depan kos.
"Terimakasih ya Dan"
"Iya sama-sama Bil. Udah kamu masuk dulu aja, gak usah nungguin aku pergi"
"Oke, aku masuk ya. Kamu hati-hati di jalan"
Wildan memangguk ringan hingga akhirnya hari ini pun berlalu.
“Bil..tunggu, bareng aku aja”, sergah Wildan kemudian.
“Hah, kamu mau kemana?”
“Pulang. Biar sekalian aku antar”
“Oh..baiklah”
"Guys duluan semua.” sapa ku pada anak-anak lain di dalam sekretariat seni"yaa..hati-hati bro", jawab anak-anak di sekretariat kompak.
Wildan mengantarkan ku sampai di depan kos.
"Terimakasih ya Dan"
"Iya sama-sama Bil. Udah kamu masuk dulu aja, gak usah nungguin aku pergi"
"Oke, aku masuk ya. Kamu hati-hati di jalan"
Wildan memangguk ringan hingga akhirnya hari ini pun berlalu.
***
"Wildan.."
"Eh Bil.."
"Kita jadi hunting hari ini kan?"
"Iya tentu saja, yuk"
Kami pun segera beranjak menuju ke lokasi hunting yaitu Taman Satwa yang terletak tidak begitu jauh dari kampus. Diperjalanan menuju lokasi, tiba-tiba Wildan berhenti di sebuah toko untuk membeli minum.
"Kamu tidak minum Bil? Beli minum di lokasi hunting mahal lho"
"Aku bawa minum sendiri Dan"
"Oh"
"Mmm..kamu tidak suka air putih?"
"Tidak. Tidak ada rasanya"
"Tapi lebih sehat dari yang kamu minum itu lho", bantah ku.
Wildan menggernyitkan alis, menghentikan minum sesaat. Memasang wajah heran. Ia nampak lucu dengan ekspresi seperti itu. Tak lama kemudian kami pun melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di Taman Satwa, hunting di mulai. Aku masih bingung apa yang harus aku potret. Aku heran kenapa Wildan menjadikan Taman satwa ini sebagai lokasi hunting. Lokasi yang kotor dan tak terawat. Hewan yang ada nampak kurus. Sampah ada dimana-mana. Fasilitas taman rusak. Semua sisi nampak tak memiliki daya tarik. Namun, ku perhatikan Wildan nampak tetap asik memotret.
"Kamu kenapa Bil?" tanya Wildan kemudian.
"Tidak ada yang menarik"
"Bila, tidak semua yang nampak menarik itu hasilnya akan bagus kalau di potret"
Aku mendongak. Bingung.
"Justru sering kali lokasi-lokasi yang kata orang jelek dan jorok malah bagus di potret" lanjutnya kemduian.
"Oh ya?"
"Fotografi adalah tentang cahaya, warna, dan komposisi Bila. Bukan tentang bagus atau jeleknya lokasi hunting. Nanti kalau kamu sudah terbiasa memotret akan paham sendiri"
"Dulu kamu belajar dimana tentang seni fotografi Dan?"
"Selain aku belajar di kampus, aku juga suka browsing."
Aku menggangguk ringan.
"Aku suka browsing, tapi malah bingung"
"Kamu banyakin praktek aja. Kalau terlalu banyak teori malah kamu bingung sendiri. Fotografi juga adalah tentang jam terbang Bil"
"Oh ya.."
"Iya"
"Boleh aku lihat hasil jepretan mu tadi?", pinta ku kemudian.
"Tentu saja,"
Aku mengambil kamera Wildan. Ku dapati banyak foto yang hampir semuanya menarik.
"Hah? Kok bagus?"
"Ini hanya masalah jam terbang," jawabnya singkat.
Aku melongos heran. Kami pun melanjutkan hunting sambil mengobrolkan banyak hal.
"Dan, kamu mabuk?"
"Tidak. Aku minum, tapi dengan kandungan alkohol yang sedikit. Paling 2%, tidak akan mabuk"
"Wildan, 2% itu tetap alkohol," sungut ku agak kesal.
Wildan kembali menggernyitkan alis, memasang wajah heran. Ah, wajah lucu itu lagi.
Kami melanjutkan keliling taman satwa yang luasnya berhektar-hektar ini. Memotret beberapa titik lokasi yang menurut Wildan menarik.
"Bila, ini sudah sore. Lihat matahari itu?"
"Iya, lihat"
"Lihat ini"
Wildan memperlihatkan hasil jepretan matahari miliknya yang indah.
"Wow..bagus sekali Wildan"
"Ini namanya siluet"
"Siluet?"
"Sini aku ajari cara memotret siluet"
Wildan meminta kamera ku. mengajari ku pengaturan kamera untuk memotret siluet sunset. Setelah pengaturan selesai di lakukan, Wildan menyerahkan kembali kamera ku.
"Ayo potret mataharinya"
Aku pun mulai mengarahkan kamera ke arah matahari. Satu...dua..tiga..cekrek. Aku terdiam, terkejut.
"Bila, kamu kenapa?" tanya Wildan heran melihat ekspresi wajah ku.
Kemudian Wildan merebut kamera dari tangan ku.
"Wildan, foto siluetku bagus banget" cletuk ku kemudian.
Wildan menatapku dan tersenyum gembira.
***
"Bila, kamu suka ya dengan Wildan?" cletuk salah satu teman Wildan sambil bercanda.
"Tidak. Memangnya kenapa?"
"Wildan itu belum punya pacar lho"
"Terus?"
"Dulu dia pernah punya pacar. Sering diajak ke sekre. Pacarnya masih SMA"
"Oh, pernah diajak kemana aja tuh cewek sama Wildan?"
"Dulu sih sering diajak main ke kos"
"Kos siapa? Wildan kan gak ngekos"
"Kosnya kita lah"
"Oh. Ceweknya pakai jilbab gak?" tanya ku mulai penasaran.
"Nggak"
Aku terdiam.
"Adek tingkat pernah ada yang naksir Wildan, tapi Wildan belum tertarik"
"Oh"
Aku kembali terdiam.
"Kalau kamu suka sama Wildan, sikat saja Bil. Kami mendukung mu"
Aku masih terdiam. Tak menanggapi.
"Tipe ceweknya Wildan memangnya seperti apa?" aku mulai membuka percakapan.
"Yang seksi. Kamu boleh pacaran Bil?"
"Nggak"
Suasana kembali sunyi. Aku mulai menerawang. Kalau boleh jujur, aku memang menyukai Wildan. Entah suka karena dia pandai, atau karena aku merasa melihat sosok seorang kakak darinya. Sejauh yang aku tahu, Wildan adalah pria yang baik, cerdas, dan unik. Tetapi disisi lain aku menyayangkan karena dia perokok aktif, berani mabuk, suka ke club. Jiwanya begitu bebas. Bahkan, hingga saat ini dia masih mengejar perbaikan nilai yang semester lalu tidak lulus. Dibalik kecerdasanya, aku pun menyayangkan sikap-sikapnya yang jauh dari seorang pria ideal. Ia berbeda, sungguh berbeda dari heaven prince yang selama ini aku cari.
***
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kami tak lagi bertemu. Aku sibuk dengan kegiatan ku hingga tak sempat barang sekedar bermain ke sekretariat seni. Aku dan Wildan pun mulai memiliki jarak, kami jarangnya bertemu. Meskipun demikian, dalam hati aku tak dapat mengelak bahwa aku merindukannya.Berbulan-bulan aku menahan rindu dan menyembunyikannya dengan memperbnyak aktivitas. Hingga akhirnya rindu itu tak lagi bisa ku bendung.
Tik.. tik.. tik.. aku mulai mengetik kalimat di handphone.
Wildan,
Harus aku katakan dengan jujur bahwa aku jatuh cinta pada mu..
Entah cinta atau sekedar mengagumi mu..
Aku merindukan mu..
Rindu yang berat..
Aku tidak menghendaki rasa ini ada..
Aku tidak menyukainya..
Aku tak menolak..
Kamu memang cerdas
Kamu pun kelam..
Kamu mabok, merokok, kerap ke club..
Hati ku mencintai mu, tapi logika ku menolak mu..
Aku menginginkan Heaven prince..
Dan..
Ku rasa dia bukan kamu..
Bisakah..
Katakan sesuatu yang bisa membuat ku berhenti mencintai mu..
Aku ingin membunuh rasa yang tak seharusnya ini..
Bunuhlah dengan meminta ku berhenti!
Send.. klik.. enter.. aku pesan singkat ini ke Wildan. Selesai sudah. Perasaan ku kini lebih baik. Ku matikan handphone. Perasaan ku mulai gundah. Feeling ku mengatakan bahwa Wildan sakit hati dengan apa yang aku lakukan hari ini.
Pagi ini cuaca nampak sedikit tak bersahabat. Langit mendung tapi tak hujan. Cahaya dari luar masih nampak masuk ke dalam kamar. Oh..benar saja karena jendela kamar terbuka sejak tadi malam. Ku gerlingkan mata ke arah jendela yang terbuka. Mencoba menerawang dunia di luar jendela. Ah, semua seperti tak lagi berarti.
Dikehidupan selanjutnya, kami tak pernah lagi berbicara. Ia mengunci mulutnya seumur hidupnya.. untuk ku. Waktu pun telah mencukupkan segalanya antara aku dan dia sampai di detik ini saja.

Comments
Post a Comment