Ketika Melia Memanggil


ilustrasi foto google.com

Hari ini aku sedang ingin membaca buku. Buku Dilan. Iya.. Dilan, yang filmnya baru-baru ini sedang booming. Padahal sebelumnya, aku sudah berkali-kali melihat buku Dilan di Gramedia tanpa rasa tertarik sedikit pun. Buku bersampul remaja putih abu-abu, paling isi ceritanya tentang roman picisan basi, tidak ada menarik-menariknya sama sekali, pikirku. Siapa yang menduga novel ini akan booming bahkan filmnya mampu meraih lebih dari 6 juta penonton. Jumlah yang fantastis bukan? Aku pun di paksa oleh  rasa penasaranku untuk membaca buku serial Dilan ini. Ah, menyebalkan juga sih..

Tuit... tuit.. tuit.. ada pm masuk ke handphone ku..

Bila, bisakah kita ketemu malam ini?

What? pesan dari Melia? Bukankah dia sedang di Bandung? pikirku.

Lho, kamu di Solo Mel?

Iya, aku di Solo

Melia memang selalu mengejutkan, batinku.

Oke, ketemu dimana?

Tempat biasa ya. Jam 7..

Okee

Melia adalah sahabat ku, kami bersahabat sejak masih di bangku kuliah. Melia memang sahabat ku yang paling unik. Kita jarang, lebih tepatnya hampir tak pernah bersama saat dia bahagia. Saat Melia memanggilku, sering kali dia tengah berada di situasi yang menekannya.

"Melia, aku selalu ada buat kamu. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil saja aku. Kalau aku bisa membantu mu, pasti aku bantu. Dan kamu tidak perlu berpikir untuk membalasnya" ujarku waktu itu padanya.

Aku sering kali menjadi teman curhatnya, dia biasa bercerita tentang apa saja. Bahkan tak pernah nampak menjadi orang lain jika bersamaku. Tetapi, aku sering kali mendapati ia dapat berpura-pura bahagia dihadapan orang lain. Ia tak suka jika tampak lemah. Tidak akan ada yang tahu apa yang sedang ia rasa. Saat ia tertawa, bisa jadi ia sedang menangis. Saat ia tersenyum, bisa jadi ia sedang sedih. Saat ia bersedih, bisa jadi ia hanya sedang menghibur dirinya sendiri. Dia pandai berkamuflase untuk menutupi gejolak hidup. Tapi, tidak di hadapanku.

Malam itu jalanan begitu ramai. Meski jam sudah menunjukan pukul 1915 WIB, hilir mudik kendaraan seperti tak ada lelahnya. Semakin malam jalanan justru semakin riuh. Maklum saja, malam minggu. Aku semakin memacu gas motor ku menuju D'Junas Cafe. Cafe tempat nongkrong favorit Melia.

Sesampainya di D'Junas Cafe, aku segera menuju bangku nomor 17. Melia sudah berada di meja itu. Aku pun duduk dihadapannya. Sesekali ku gerlingkan mata ke arah jalan raya. Masih juga nampak ramai. Dari sudut ruangan ini, persis di meja nomor 17 aku dapat menerawang kehidupan malam kota budaya ini. Ah, wajar saja, selain aku berada di lantai dua, meja nomor 17 memang terletak persis di depan dinding kaca. Tentu setiap mereka yang memesan meja ini  akan merasakan nilai plusnya. Sudah berkali-kali memang aku ke sini.

"Melia.."

Aku mulai membuka percakapan.

"Meli, kamu sudah memesan makanan?"
"Iya, sudah Bil"

Dia kemudian tersenyum. Aku mulai memperhatikannya. Aku terkejut. Melia nampak berbeda dari Melia yang terahir ku lihat. Aku ingat, terahir kali aku bertemu dengannya adalah bulan Maret dua tahun lalu. Ku dapati nampak banyak perubahan pada Melia. Badannya yang semakin kurus, lebih kurus dari yang bisa ku bayangkan. Wajahnya sayu, nampak seperti sedang sakit.

"Meli, kamu tidak apa-apa?"
"like you know me, I'm fine, always"
"kamu pesan makan apa, Mel?"
"chicken soup Bil"
"it's ok. Kamu bisa pesan lebih banyak jika kamu menginginan. Mel, how are you? long time not see"
"Baik, aku baik-baik saja"

Aku menarik nafas dalam. Melia sedang berbohong.

"Melia, kamu kenapa?"
"Bentar ya, aku makan dulu Bil. Lapar"
"Iya"

Aku membiarkan Melia menyantap pesanannya terlebih dahulu. Dia memesan makanan porsi besar. Entahlah, melihat kondisinya seperti ini, aku justru merasa iba. Entah apa masalah yang tengah di hadapinya hingga ia nampak begitu kurus.

"Mel, kamu kurusan. Padahal aku berharap bertemu dengan mu dengan badan yang gembil dan pipimu yang chubby"

Melia menghentikan makannya, kemudian tersenyum. Lalu melanjutkan santapannya kembali. Aku membiarkannya hingga ia selesai menyantap pesanannya.

"Melia, kamu gak papa kan?"

Melia menarik nafasnya agak dalam. Sepertinya ia kekenyangan.

"Ah, alhamdulillah kenyang" ujarnya kemudian.
"Melia, aku bertanya kamu kenapa? badan mu sangat kurus. wajahmu pucat. Kamu sakit?"

Melia menatapku dalam. Aku tahu dia mulai serius.

"Aku di Malang sudah sejak satu bulan lalu Bil"
"What? Kenapa? Kamu tidak di Bandung?"
"Ditya berselingkuh"

Aku terkejut. Membisu.

"Bukankah sejak awal aku juga sudah bilang, Ditya bukan pria yang baik. Berharap padanya tentu hanya menyakiti mu saja"

Tak ada tanggapan.

"Aku mundur dari pekerjaan ku di Bandung" ujarnya kemudian.

Melia kembali terdiam.

"Lalu, kenapa mengundurkan diri Mel?" tanyaku kemudian.
"Aku sakit"
"Sakit apa lagi? Kamu sering sakit-sakitan, kamu terlalu memforsir dirimu Mel"
"Kanker otak stadium akhir"

Aku terkejut. Kembali membisu. Sepuluh menit kemudian..

"Kamu sudah periksakan ke dokter?"
"Sudah"

Suasana kembali hening. Hingga lima menit kemudian.

"Jimat mu tidak bisa menyelamatkan mu? Jimat yang kamu sayang-sayang itu?"
"Takdir ku lain Bil"

Kami membisu.

Melia, dia memang sering sakit-sakitan. Tapi aku tidak pernah berpikir ini adalah sakit yang di deritanya.

Malam pun semakin larut. Semakin larut semakin bisu. 

Comments

Populer Post

Penipuan Panggilan Tes Perusahaan Menggunakan Email dan Agen Travel

Resensi Novel Pesona Izmir

Libur Nasional Covid 19