Bayang-Bayang
Diruangan itu seolah
teriakannya hampa. Terpantul-pantul oleh dinding yang kokoh. Terpenjara.
Termakan oleh gelap yang menakutkan. Terasingkan. Ia tak tahu mengapa ia
disini. Sendiri. Sunyi. Lika tak berdaya menyembunyikan rasa takutnya.
“masih ada yang selalu
menemanimu disini !”
Suara wanita
itu menggema tak jelas. Dan betapa ia bahagia saat disadarinya sosok itu
telah berada didepannya memeluknya erat.
Bress..
Ia tersentak bangun dari
tidurnya. Seember air telah membasahi sekujur tubuhnnya. Entah apa yang baru
saja diimpikannya
Sial ! Brakk !
Suara bantingan pintu
itu terdengar cukup keras, disusul suara air dingin bak mandi yang kemudian
membanjiri tubuh Lika. Mentari pagi sudah mulai meninggi di cakrawala.
Sesampainya di sekolah, Bu Mustika sudah menghadangnya dipintu gerbang,
mencegatnya saat mengetahui Lika berusaha menerobos pintu gerbang. Hingga
Likapun berusaha melancarkan rencana B yang dipastikannya berhasil.
***
Kemarin..
Lika sedang asik
menikmati suguhan hidangan kantin sekolahnya yang baru saja dipesannya.
Mendoan, Bakwan, Tahu isi, seperti biasanya. Tak lama, kemudian Ia melihat
sosok yang sedari kemarin tidak dilihatnya. Dharma menggerling sebentar kearah
Lika dan menghampirinya. Dia terlihat memaksakan diri tersenyum simetris, Entah
mengapa melihat senyuman itu Lika merasa akan ada sesuatu yang hilang darinya.
“ku harap kamu jangan
bersedih jika kamu tak melihatku lagi !”, Dharma mencoba memulai pembicaraan.
Mendengarnya hati Lika
mulai terasa perih. Kemudian tiada lagi suara. Susana menjadi hening. Diam.
Hati Lika mulai tak menentu. Sebentar tatapan mereka saling beradu. Hanya
sebentar saja, setelahnya Dharma tak punya keberanian untuk berpacu dengan
sorot mata Lika yang mulai berair. Likapun bangkit dari tempat duduknya
meninggalkan Dharma menuju ruang bawah tanah. Lika selalu ingat dan bisa mengerti mengapa Dharma seperti
ini memperlakukannya. Demi nama baik memang sudah sedari dulu orang tua Dharma
melarang Dharma bergaul dengannya. Diruang rahasia bawah tanah milik sekolah
abu-abunya Lika tak sanggup lagi menekan perasaannya, air matanya membuncah tanpa bisa Ia membendungnya.
***
Taman hiburan sore ini
tetap terlihat ramai. Disini Lika berusaha untuk sesaat tersenyum
melupakan apa yang terjadi.
“kue kue, rasanya manis,
Om !”
Kemudian seseorang
itupun menoleh kearahnya. Terus menatapnya dengan tatapan jijik. Jelas Lika
begitu mengenalnya. Lika sering kali melihatnya berkunjung kerumah hanya untuk
membuat rumahnya menjadi tempet sirkus kapal pecah. Dan Santi sering kali
memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“anak pelacur !”
Duakkk..
Petir dengan daya jutaan
kilowatt listrik seketika menyambar hatinya. Menyengat dahsyat seluruh
pikirannya. Meluluhlantahkan seluruh syaraf perasaannya. Diam, terpaku,
gemetar, perih. Hanya itu yang terasa olehnya. Tak lama, tanpa Ia sadari
bungkusan kue-kue telah terlepas dari tangannya. Orang itu tersenyum kecut
meninggalkannya. Akhir tragis rencana B.
***
Berpuluh tahun lalu..
Suara musik itu
terdengar hingga keluar kafe. Wajah Santi begitu merona malam ini. Ia
mempersiapkan diri begitu sempurna. Ia selalu tersipu malu setiap kali
mendengar rayuan bertubi dari satu-satunya pangeran yang mendiami hatinya. Jika
bersamanya dunia serasa hanya menjadi milik berdua. Santi yang awalnya tak suka
berias, tetapi sejak satu bulan lalu meja kamarnya tak pernah lagi alpha akan
kosmetik. Ingin selalu Santi menampilkan yang tebaik utuk Majid, pria yang
telah mengisi hatinya.
Santi mulai lelah
setelah berjam-jam mereka mengelilingi taman yang taj jauh dari kafe. Semua
memang telah terencana dengan baik oleh Majid. Srigala berbulu domba itupun
mulai melancarkan tindakan agresif. Ditaman itu Ia mulai merayapkan tangan
ketubuh Santi. Mengecup satu per satu bagian dari tubuh Santi setelah mengecup
tangan dan keningnya sebagai pemanas suasana. Dan luluhlah Santi dibuatnya.
Malam ini adalah malam
yang akan Santi sesali seumur hidupnya. Malam dijualnya sesuatu paling berharga
dengan murah. Malam terbukanya topeng hitam yang telah dipakai Majid yang tanpa
pernah disadarinya sebelumnya. Terbuangnya dia oleh sanak keluarga atas apa yang telah terjadi, serta
pengucilan oleh masyarakat harus Santi terima dengan lapang dada. Seiring dengan
terus berpijaknya sang waktu Santi tak pernah lagi sudi menangisi
semuanya. Ia hanya berharap Tuhan akan menolongnya untuk merawat, melindungi
serta menjaga pelita mungilnya hingga tumbuh menjadi manusia yang tegar, yang
harus dirawatnya seorang diri, yaitu Lika.
***
Mentari telah lelap.
Sesampainya didepan rumah, Lika mendapati mobil klasik berwarna merah tua.
Catnya sudah luntur, serenta pemiliknya. Memang sudah terbiasa Lika melihat
pemandangan seperti ini didepan rumahnya.
“Lika pulang !”
Lelaki tua itupun
tersenyum begitu manis, semanis giginya yang sudah termakan waktu. Pemandangan
seperti ini semakin membuatnya ingin membrontak habis-habisan pada takdir.
Dengan langkah pelan Lika mulai merambah menuju kamarnya. Menelan ludah yang
telah sampai ditenggorokan. Sorot mata Lika membuat Santi mengerti apa yang
tengah dirasakan pelita hatinya itu. Tetapi apa yang bisa dilakukannya, ijazah
SMP yang dimilikinya tak cukup untuk menopang kebutuhannya. Menjadi seorang
tukang pijit memang satu-satunya keahlian yang dimilkinya, yang membuatnya
kerap kali harus menerima bayaran dari double profesi sebagai wanita penghibur.
Lika mulai bebas kembali
menggairahkan tangis yang sedari tadi terus tertahan. Lika memang membenci
Bundanya, tetapi seperti apapun Bundanya, Ia pun begitu menyayanginya.
Krettt..
Perlahan pintu kamar
Lika mulai terbuka. Suara detak langkah kaki semakin terdengar jelas. Mendekat
dan berakhir tepat disampingnya.
“Lika sayang..”
“sekali ini izinkan Lika
menangis, Ma !”
Santipun memeluk erat
pelita hatinya. Menemaninya menangis semalaman. Terdapat desir-desir halus
merasuk kedalam hatinya yang rapuh. Hatinya begitu pilu jika harus melihat
pelita hatinya bersedih.
***
Mimpi itu kembali..
Perlahan sedesir guratan
sinar memantul-mantul. Ia mulai mampu menangkap wajah sosok didepannya ini.
Seorang wanita paruh baya, pundaknya telah kuyup oleh peluh yang membanjir oleh
sebab rasa takutnya. Tetapi sorot matanya begitu indah. Bersamanya di ruangan
gelap, sunyi, terasingkan dan menakutkan ini membuatnya merasa lebih baik. Lika
tentu begitu mengenal sosok wajah ini. Sosok ini tersenyum simetris. Begitu
anggun. Ia sosok dewi fortuna utusan Tuhan yang tak pernah henti menemani
dan menjaganya.
Lika tersentak bangun
dari mimpi anehnya. Mencoba membuka matanya. Menggerayap HP disampingnya. Pukul
23.50. Masih larut. Iapun tertegun dengan mimpi berkelanjutan yang beberapa
hari ini terus menghantuinya.
“kamu kenapa, sayang ?”
Ia mendapati sosok dalam
mimpinya tengah duduk manis disampingnya. Lika terus memandangi sosok wajah itu
dengan haru.
“Mama, Lika sayang Mama
!”
Santipun seketika
memeluk pelita hatinya begitu erat. Malam ini, Lika ingin menagis dengan tenang dipelukan Bunda, membebaskan diri dari peluh rasa yang terasa begitu berat diembannya. Lika menyadari hanya Bunda yang begitu
tulus mencintainya. Bunda selalu hadir menemaninya melewati saat-saat sulit
dalam hidup malangnya. Dan sekarang, Lika hanya harus terus tersenyum menjalani
hari-hari tersulitnya. Memberikan yang terbaik untuk mengakhiri kemalangan ini.
Likapun semakin erat memeluk Santi, Bundanya tercinta. End..

Comments
Post a Comment