Sahabat Jangan Kau Pergi

SAHABAT.. JANGAN KAU PERGI
  


Oleh: Titis Risni
 
Mentari  beranjak  membebaskan  spectrum  continue  berwarna  merah
Dikala  awan  cirrus  ia  tersenyum  begitu  manis
Namun  dikala  awan  nimbus  ia  menghitam
Dikala  hujan  turun  ia  takterlihat
Namun  terkadang  ia  bertahan  ditengah  dinginnya  hujan  sore
Ia  tersenym  dengan  pelangi  di matanya
Ingin  selalu  melihatnya  tersenyum
Namun  perubahan  delta  mengharuskannya  bersembunyi
Aku  ingin tetap  disini…
Menanti  senyuman  yang  ku  harap  bisa  kembali
Sahabat…
Kumohon jangan pernah kau pergi
Walau awan dan delta akan terus berganti

Astaghfirullohal’azim !
 Seluruh tubuhnya hitam lekat. Hanya bola matanya yang telihat putih bersinar. Di dekat ranjang tidur ku, secepat kilat ia berjalan kesana kemari. Aku tertegun. Bila diperhatikan, bayangan itu mirip sesosok anak kecil berusia 10 tahunan. Aku terus memperhatikannya. Dia..bayangan itu menggerling ke arah ku.
Seram !
Dia mendekat dan semakin mendekat. Sungguh, ia membuat ku merasa takut. Dia mendekat..mendekat..dan wuaaaaaa.. bayangan itu masuk kedalam ragaku. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya. Namun lidahku kelu, terkunci. Aku hanya mampu berteriak dalam hati. Aku benar-benar ketakutan. Tiada satu pun yang mendengar teriakan histeris dari hatiku. Bresss..tiba-tiba aku merasa ada banjir bandang menyerang rumah ku.
“wuaaaaa, Mamaaaaaa !” teriaku terbangun dari mimpi.
“Diam dan bangunlah !” pinta mama dengan ember ditangannya.
Hufhh..sial. Mimpi apa aku  tadi. Bangun pagi di sambut dengan semburan seember air. Ku lirik jam di meja. Jarum jam  menunjukan pukul 06.25 pagi.
Mampus !
Aku terlambat. Pantas Mama marah. Alarm yang ku bunyikan tepat pukul 05.00 pagi sampai tidak mempan di telinga ku. Tak..tak..tak..dengan cepat aku berlari menuju kamar mandi.
Hari berikutnya..
Saat itu entah dimana. Entah dengan siapa. Entah membicarakan apa. Aku tidak sedetail itu memperhatikannya. Semua orang terlihat sibuk. Ku teguk segelas air putih. Tak lama, ku lanjutkan obrolan. Krettt..kurasakan terdapat serpihan tipis yang menggangu aktifitas mulut ku. Biarlah, kulanjutkan saja obrolan. Tetapiii..krett..krett..aku merasakan serpihan aneh ini semakin bertambah saja dalam mulut ku. Namun hingga detik ini aku masih bisa mengabaikanya. Tapiii..krettt..krettt..krettt.. serpihan ini semakin banyak dan semakin banyak. Ku ambil sebuah serpihan dari mulut.
Astaghfirullohal’azim !
Sebuah  serpihan  kaca tipis. Dan sekarang mulut ku telah di penuhi oleh serpihan kaca, dimana ia berasal dari lendir yang keluar dari kelenjarnya. Sekali lagi, aku benar-benar ketakutan. Ingin rasanya menjerit. Tapi kelu, terkunci. Mulut ku tak lagi mampu untuk berkata-kata. Serpihan kaca ini membuatnya tak lagi dapat berfungsi dengan normal.
 ‘’Ya Allah, mengapa bisa seperti ini !’’ jeritku dalam hati .
Aku menangis. Rasanya takut. Dari sekian banyak anak adam di ruangan ini, tiada satupun dari mereka yang bisa menolong ku .
Ya Allah !
Kejadian tak masuk akal kembali terjadi. Serpihan kaca ini berubah menjadi sederet buku yang terus mengalir layaknya aliran sungai . Dimana mulut ku menjadi sumber dari alirannya. Mulut ku menganga. Sungguh, aku tak mempunyai daya untuk menghentikan aliran ini. Rasanya begitu takut. Bukan takut pada serpihan ini. Tetapi aku takut peristiwa ini takan mempunyai akhir. Dan aku takut tiada lagi akan hidup normal seperti yang lain. Semakin aku merasa takut, semakin gencar pula aku menangis.
‘’Ya Allah.. tolong aku !” jeritku masih dalam hati. Aku bukan hanya begitu takut, tetapi akupun begitu sedih.  Karena aku menyadari, aku harus menghadapinya seorang diri .
    ‘’Mamaaaaaaaaa !’’
Aku tersentak bangun dari tidur ku . Ku sentuh mulut. Ku gerak-gerakan . Kugigit lidah ku. Aku hanya ingin memastikan semuanya masih normal.
     ‘’Ada apa Tara, kenapa larut malam begini kamu teriak-tariak ?‘’suara mama dibalik pintu kamarku.
Aku tertegun. Dengan peristiwa tadi, masihkah aku mampu berbicara dengan normal. Hampir-hampir aku tak percaya paristiwa aneh itu 
hanya sebuah mimpi.
    ‘’Tadi Tara Cuma mengigau, Ma !’’
Wow .. apa yang telah ku katakan  pada mama, semuanya benar-benar hanya mimpi. Dan aku masih bisa berbicra dengan normal.
 Alhamdulillah Ya Allah !
Ku nyalakan lampu. Ku lirik jam di meja. Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Hari memang masih terlalu larut. Kembali ku matikan lampu. Ku rebahkan kembali tubuh ini diatas ranjang. Ku terawangi langit-langit . Aku tak tahu mengapa beberapa hari ini begitu banyak mimpi-mimpi aneh menghantuiku.
                                                            
***
 
       Mentari dengan pancaran yang sempurna tengah berada di atas kepala saat aku tengah menanti bus di halte sekolah dengan harap-harap cemas. Berkali-kali aku telah mempertimbangkannya. Dan saat ini aku tak ingin lagi mendengarkan desau segumpal darah yang terus melarang ku untuk melakukannya. Melakukannya memang sesuatu yang ku benci . Namun apa mau dikata, jika aku telah kehabsan cara untuk menyelesaikannya semuanya, tak ada cara lain selain melakukannya. Setelah begitu lama hingga aku merasa waktu telah terpatri, akhirya bus datang. Ku nikmati perjalanan menuju rumahnya. Beberapa menit berlalu. Rumahnya semakin dekat. Hati ini semakin cemas. Memang bukan kali pertama aku berkunjung kerumahnya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lain yang membuatku semakin cemas dan semakin cemas. Namun jika aku telah memulai sesuatu, maka aku pun harus meneruskannya hingga akhir. Walaupun ku tahu dengan pasti semuanya akan menyakitkan.
Tepat di depan sebuah rumah bus pun berhenti. Semuanya belum berubah. Tanaman hias dengan bunga yang berwarna-warni masih selalu menghiasi teras rumahnya. Didekatnya ku dapati wanita paruh baya yang dimata ku ia terlihat begitu anggun. Ia seorang ibu yang penuh dengan kelembutan hati. Dengan menebar senyum kelembutan, ia sirami tanaman hias kesayangannya.
“Eh.. Tara ayo nak masuk saja kerumah. Lanang sedang sarapan !”
Ibu.. ia selalu menyambut ku dengan senyuman hangat. Seolah aku adalah tamu istimewa dirumahnya. Aku menganggapnya sama seperti mama. Bukan apa. Semua itu tak lebih karena ia adalah ibu dari sahabat ku.
“ Kenapa berdiri saja. Ayo masuk, nak !” pintanya lagi.
Aku pun mulai merambah memasuki rumah tersebut.
“ Tara, Ibu panggilkan Lanang dulu !”
Aku hanya menanggapinya dengan anggukan ringan. Beberapa menit kemudian, Lanang.. sosoknya mulai muncul dari balik pintu.
“ Ada apa kesini ?” tanyanya ketus
“ Sebelumnya aku  minta maaf, tidak memberitahu terlebih dahulu kalau aku akan kesini ”
Kami saling diam tak ada suara.
“ Aku kesini hanya ingin memastikan apa yang membuat mu begitu marah. ” aku memulai pembicaraan.
“ Kenapa kamu begitu memikirkanya. Lupakan saja semuanya !” pintanya
“ Aku juga tak ingin memikirkanya. Jika hatiku tidak tenang tanpa suatu alasan yang ku tahu dengan pasti, bagaimana mungkin aku tidak memikirkanya. ”
“ Semuanya tak penting. Jadi tak perlu untuk dibahas !”
“ Lanang, tak semudah itu. Karena buat ku semuanya penting. Jika semuanya tidak penting, mana mungkin aku menyempatkan diri kerumah mu hanya untuk membahasnya. Katakana saja salahku,tak sulit kan ?”
“ Sekali lagi kamu menanyakanya, aku akan diam !” ancamnya
“ Lanang, kamu harus bicara. Jangan diam! Mana mungkin aku bisa belajar dari kesalahan kalau kamu diam. Lanang, aku ingin belajar !” rengekku mulai kesal
Hatiku mulai terasa perih saat ia terus membisu.
“ Aku tak jadi mengambil sastra Inggris. Kelak kita tidak akan sekelas lagi. Jadi kamu bisa tenang tanpa aku. Tapi tolong jelaskan padaku apa salah ku. Jangan diam seperti ini !”
Sakit.. rasanya hatiku semakin sakit. Walaupun ia diam tapi aku merasa ia pun sakit dengan keputusanku. Tetapi aku pun terlalu bodoh untuk mengetahui cara yang baik agar membuatnya mengerti. Ibu.. tiba-tiba ia menghampiri kami.
“ Lanang, ayo ajak Tara makan ke dalam !” pintanya
“ Kenapa bukan ibu saja yang mengajaknya !” ketus
Sungguh, aku tak pernah melihatnya berbicara sekasar itu pada ibu yang aku tahu begitu sangat di cintainya. Mungkin apa yang aku lakukan hari ini telah begitu menyakiti hatinya.
“ Ibu, Ibu tak perlu repot-repot. Tara sudah selesai. ”
“ Tidak makan dulu, nak ?”
“ Ndak Bu, Tara pengin cepet-cepet sampai dirumah. ”
Akupun berpamitan dengan ibu. Aku tahu dengan pasti, andainya aku terus berada disana, tentunya bukan hanya aku, tetapi Lanang pun akan semakin sakit. Entah mengapa, mungkin tak ada yang bisa menjawabnya kecuali dirinya sendiri. Tak..tak.. tak.. ku hitung langkah seperti sedang menghitung getaran detik yang mengalun. Semakin banyak detak yang terhitung, sakit itu semakin terasa. Sore ini hujan turun. Bersamanya mengalir titik-titik embun yang tak bisa ku hentikan. Hempasan nabula yang hadir bersama hujan sore ini membuat nafas ini terasa sesak.
 
***
Aku terdiam. Terhenyak. Tutur katanya memang begitu lembut. Tetapi dibalik kelembutan tutur katanya, tersimpan seribu duri yang telah menusuk hingga hati ini terasa perih.
“ Mana kumpulan artikel yang telah kelompokmu cari ?”
Aku tak mampu menjawab pertanyaan Bu Lestari, pembina jurnalistik sekolah.
“ Secepatnya artikel itu harus dikumpulkan. Kita tidak mempunyai banyak waktu karena majalah sekolah akan segera diterbitkan, Tara !” lanjutnya.
“ Maaf  Bu, saya tidak bisa mengerjakanya tanpa Lanang. ”
“ Tetapi kamu mempunyai tanggung jawab, Tara. Kita telah menghimpun banyak dana untuk menerbitkan majalah ini. Pakai logika kamu !”
Tess..tess..aku menitikan air mata.
 Oh Tuhan ini benar-benar memalukan !
“ Apakah saya harus menyuruh Lanang untuk menghadap saya ?” ancamnya kemudian.
“ Jangan dulu, Bu. Saya akan berusaha untuk membicarakanya secara baik-baik terlebih dahulu dengan Lanang. ”
“ Baiklah saya tunggu hasilnya. ”
Sejak peristiwa dirumahnya, Lanang selalu menghindar dari segala apa yang berhubungan dengan ku. Ingin rasanya aku bicara. Tetapi dengan pasti aku tahu, semakin aku ingin bicara semakin ia kuat-kuat mengunci mulutnya. Aku pun ingin membiarkanya. Tetapi membiarkanya pun bukan cara yang tepat untuk aku  menyelesaikan semuanya. Aku benar-benar merasa kesal, oleh sebab semuanya terasa serba salah. Dan sungguh, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan setelah apa yang barusan terjadi diruang Pembina jurnalistik sekolah.
Mentari mulai menampakan spectrum continue berwarna merah diufuk barat saat aku tengah sibuk membenarkan tali sepatu. Sore ini sekoalh telah sepi. Tak.. tak..tak.. suara detak sepatu itu terdengar jelas dan semakin jelas. Tetapi entah mengapa detak sepatu itu tiba-tiba terhenti di tempat yang tak terlalu jauh dariku. Akupun mencari sumber suara yang terhenti itu. Seseorang berkulit putih dengan rambut ikalnya. Wajahnya yang tak pernah lepas dari kaca mata, serta postur tubuhnya yang sedang. Membuatnya terlihat anggun dan mengingatkanku akan bundanya. Dalam rentang waktu yang cukup lama kami saling diam seribu bahasa.
“ Lanang, kenapa beberapa hari ini kamu tidak datang dalam pertemuan jurnalistik ?” akupun memulai pembicaraan berharap akan ada jawaban. Tetapi nihil.
“ Lanang, kamu tidak boleh seperti ini !” pintaku tetap dengan jawaban yang nihil.
“ Tidak apa kalau kamu marah dengan ku. Tapi jangan pernah mencampur  adukan masalah pribadi dengan tugas jurnalistik kita. Cobalah untuk bersikap professional, Lanang !”
Ia tetap diam. Tak ada jawaban. Sikapnya benar-benar menjengkelkan.
‘’Lanang, kamu masih mempunyai mulut. Pita suara mu masih bisa berfungsi dengan baik. Jadi bicaralah! Jangan seperti patung hidup dan jangan memperlakukan aku seolah aku ini benda yang payah, itu menyedihkan !” jeritku.
Hati ini kembali terasa sakit. Aku tahu dengan pasti telah semakin menyakitinya dengan apa yang telah ku katakan.
‘’Aku akan menuruti semua permintaanmu. Aku akan melupakan semuanya. Asalkan kamu tidak melupakan jurnalistik !’’
Ia tetap diam. Dan aku sedih mengapa aku tak bisa membuatnya bersuara.
 ‘’Jika kamu terus seperti ini, jangan salahkan aku jika kamu dipanggil oleh pembina !’’
 Tetapi ia tetap dalam diam. Berjalan mengacuhkanku seolah aku hanyalah hantu yang tak terlihat. Hanya angin yang mendesir. Ia melangkah menuju tempat parkir tanpa pernah memperdulikanku. Aku merasakan desir-desir halus yang menyakitkan terus memenuhi celah-celah kecil dalam hati ini.. dan rasanya perih.
‘’Lanang maafkan aku !”  teriakku dengan kencang.
Bremmmm... mesin motor itu menderu. Berjalan melewatiku. Menjauh, menghilang.
Tess.. tesss.. aku tak mau  menghapusnya lagi. Rasanya sakit. Sungguh aku tak tahu mengapa ia begitu membenci ku. Mengapa ia begitu sulit memaafkan ku. Aku selalu bertanya mengapa. Tetapi yang selalu ku temukan tak pernah lebih dari lembaran kertas kosong. Aku merasa sakit atas segala perilakunya. Tetapi apakah ia juga merasakannya. Ataukah mungkin sebenarnya ia lebih sakit dariku, hingga terlalu sulit baginya untuk memafkanku. Entahlah.. karena aku pun terlalu bodoh untuk mengetahui sesuatu yang telah melukai hatinya. Dan sebagai sahabatnya ,aku terlalu egois untuk mengerti perasaannya.
          Sesampainya di rumah ku rebahkan tubuhku diatas ranjng. Ku gapai hp di atas meja belajar.  Ada sebuah pesan. ‘’ biklah , mulai besok aku akan berangkat jurnalistik !” pesan dari Lanang. Betapa saat itu aku bahagia oleh sebab Lanang telah mau kembali berbicara dengan ku.
                                                                     
***
Ya Ampun !
sudah berapa menit waktu berlalu. Entah mengapa bus hari ini begitu lelet. Bremmmm ..motor ini berhenti di depanku.
‘’Hai Tara, ayo ikut ! ‘’ pinta Chacha.
Akupun membonceng dibelakangnya . Beberapa menit kemudian kami pun sampai disekolah.
‘’Ra, kemarin-kemarin Lanang  dan Andre main kerumahku. Mereka mampir tidak kerumahmu ?’’ Chacha memulai pembicaraan.
‘’Tidak, mereka tidak mampir. ‘’ jawabku singkat.
Sakit,  entah mengapa  beberapa hari ini aku begitu sering merasakan sakit. Saat ini bukan hanya sakit. Karena akupun merasakan takut. Mengapa Lanang bergaul dengan Andre? Dan mengapa ia juga mau diajak bermain kerumah Chacha oleh seorang Andre?  Si urakan itu. Apakah semenjak persahabatan kami penuh dengan masalah, sebegitu mudahnya Lanang berubah? Apakah benar terjadi  alih budaya diantara mereka? Rasanya sakit jika harus mempercayai semua ini. Tetapi bagaimana bisa aku tak percaya. Sedang sedikitpun aku tak bisa dengan mudah memonitor segala perubahan yang terjadi pada dirinya.
         Kudapati hanya segelincir manusia yang telah menempati kelas ini. Dengan pelan akupun duduk di bangku yang masih kosong. Tak lama kemudian ia datang dari balik pintu. Ia masih seperti biasanya. Diam dan mengacuhkan keberadaan ku. Kupandangi ia dengan kesal.
‘’Lanang, jangan lupa nanti ada rapat jurnalistuk !’’ seruku
Ia memang tidak menanggapi seruanku. Namun aku tahu, tak semudah itu ia menarik ulur kata-katanya sendiri. Ia tetap duduk tenang diatas kursinya. Hari-hari di sekolah kami lalui seperti biasanya. Tanpa kata. Tanpa suara.
        Tett.. tet.. tet.. bel sekolah pun di bunyikan. Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 siang.
‘’Lanang, kamu benar-benar akan mengikuti partemuan khan ?’’
Ia mengangguk dan meninggalkanku tanpa kata. Tak apa. Sepertinya aku pun harus belajar menyesuaikan diri dengan kebiasaan barunya ini.
        Jam telah menunjukan pukul 14.30 . Waktunya rapat dimulai. Namun sosoknya tak jua terlihat. Krettt.. suara pintu di buka.
‘’Assalamu’alaikum’’
‘’Wa’alaikumsalam’’
Lanang, ia tengah berjalan menuju kursi kosong yang beberapa hari ini tidak berpenghuni. Kami semuapun memulai rapat anggota jurnalistik.
        Hari telah beranjak sore saat rapat selesai. Sebentar ia menghetikan langkah. Menunggu ku yang tengah sibuk membenarkan tali sepatu. Kemudian melanjutkannya dengan langkah pelan.
‘’Lanang, tunggu aku !’’ pintaku
Ia tetap mengcuhkanku.
‘’Lanang, aku ingin bicara !’’
Ia tetap berjalan pelan tanpa kata. Aku berlari untuk mengejarnya.
‘’Chacha bilang kemarin-kemarin kamu bermain kerumahnya dengan Andre, apakah kamu akan mengiyakannya ?’’
Aku kecewa oleh sebab ia selalu menanggapinya dengan diam.
‘’Lanang, kamu pernah bilang selamanya akan menjadi pria baik-baik. Jangan pernah melupakannya! Dan aku tidak suka kamu bergaul dengan seorang seperti Andre !”
Aku tak bisa lagi mengimbangi langkahnya yang semakin cepat.
“ Lanang, jangan pernah berubah! Tetaplah  menjadi Lanang yang selama ini ku kenal! Jikapun harus berubah, berubahlah menjadi lebih baik !” Jeritku.
Tit.. tit.. klakson itu dibunyikanya. Ia menggerlingkan matanya kearahku.
“ Mau ikut tidak ?”
Aku berlari cepat ke arahnya. Ku tatap ia dengan jengkel.
“ Ayo naik !” pintanya
“ Aku tidak mauuuuu !” teriaku kesal.
Iapun mendorong kepala ku dan pergi mengacuhkan ku.
 
***
“ Bolehkah marah itu bersemayam dalam hati, namun tahukah kamu sebab apa dibaliknya. Jangan sampai kamu menyesal untuk yang ke 2 kalinya ”
Aku masih selalu ingat, pesan ini dikirimnya 4 bulan yang lalu untuk yang terakhir kalinya. Ya Alloh, maafkan aku karena pernah meragukanya. Maafkan aku, karena terlalu sering menyakitinya. Tess.. tess.. aku sedih. Karena aku terlalu takut andainya harus kehilangan sahabat sebaik dia. Namun sekarang tiada cerita, tiada juga canda. Perubahan waktu dalam hidupku telah  hampa akan celotehan-celotehan konyol darinya. Entahlah. Berbulan-bulan sudah semuanya berlalu. Entah seberapa banyak pesan yang ku kirim tanpa jawaban darinya. Sekali saja. Iapun tak pernah lagi mau menerima telepon dari ku. Yang membuatku semakin sedih, jikalau dulu hanya kertas kosong yang ku temukan atas segala pencarian ku, maka dengan mimpi ini, Alloh telah menjawab semua pertanyaan itu. Kesombongan yang awalnya hanya desir-desir halus, kini ia telah menguasai sebagian dari diri ku. Ia adalah tirai yang melemahkan hati untuk mendeteksi segala bentuk kesalahan yang telah ku lakukan. Dan akupun menyadari, Lanang sakit bukan karena sikap ku. Tetapi ia sakit atas segala ucapan ku yang begitu menusuk hatinya. Dan aku tahu dengan pasti, luka yang disebabkan oleh goresan benda tajam, akan cepat sembuh dalam hitungan waktu. Tetapi luka yang disebabkan oleh ketajaman lidah, terkadang waktupun tidak berdaya untuk mendeteksi seberapa lama luka itu akan mongering. Malam ini, aku tak bisa untuk kembali memejamkan  mata. Kembali kunyalakan lampu. Jarum jam menunjukan pukul 03.00 dini hari. Ku baca kembali kenangan-kenangan yang tersimpan dalam catatan deary. Mata ini terpaku pada sepucuk kertas yang terselip dalam lembaran-lembaran diary.
 
Arti sahabat !
 
Sahabat adalah indra kita :
1.     Sahabat adalah mata
Ia adalah monitor yang akan selalu memperhatikan kita
2.     Sahabat adalah hidung
Ia adalah pengawas yang baik. Ia mampu mencium segala perubahan-perubahan yang terjadi pada diri kita.
3.     Sahabat adalah telinga
Ia adalah pendengar yang baik. Tempat dimana kita berbagi cerita dan ia akan selalu ada untuk medengarkan kita.
4.     Sahabat adalah mulut
Ia bersikap terbuka dengan segala unek-unek dihatinya. Walaupun terkadang ia pun dapat menyakiti dengan segala unggah-ungguhnya. Bisa dengan sikapnyamaupun tutur katanya. Namun iapun adalah tempat yang tepat untuk berbagi informasi apa saja yang kita tidak tah,u karena Ia akan selalu mengajak kita pada kebaikan.
5.     Sahabat adalah kulit
Ia mampu untuk mengerti apa yang kita rasa
6.     Sahabat adalah hati
Ada suatu ikatan batin yang membuat kita lebih mempercayainya dari yang lain. Keberadaanya memberikan kebahagiaan mendekati sempurna. Dan ikatan batin ini menjadi alasan mengapa kita mampu memaafkan sebesar apapun kesalahan yang pernah diperbuatnya. Dan iapun juga menjadi alasan mengapa kita menerima ia apa adanya.
 
Tes.. tes..  aku sedih karena aku  mengingatnya. Dulu ia memberikan lembaran ini dengan senyuman begitu manis. Dan sekarang, aku harus menjalani bagian dari hukum aksi reaksi yang membuatnya harus menjauh.  Dan..harus ku trima dengan lapang dada. Entah sampai kapan sebuah dosa akan tertebus. Karena maaf tak lagi mampu membuat semuanya kembali. Namun..aku ingin tetap disini. Menanti senyuman yang kuharap bisa kembali. Trimakasih untuk semuanya, sahabat ku !

Comments

Populer Post

Penipuan Panggilan Tes Perusahaan Menggunakan Email dan Agen Travel

Resensi Novel Pesona Izmir

Libur Nasional Covid 19