Sahabat Jangan Kau Pergi
Mentari beranjak
membebaskan spectrum continue
berwarna merah
Dikala awan
cirrus ia tersenyum
begitu manis
Namun
dikala awan nimbus
ia menghitam
Dikala hujan
turun ia takterlihat
Namun
terkadang ia bertahan
ditengah dinginnya hujan
sore
Ia
tersenym dengan pelangi
di matanya
Ingin
selalu melihatnya tersenyum
Namun
perubahan delta mengharuskannya bersembunyi
Aku
ingin tetap disini…
Menanti senyuman
yang ku harap
bisa kembali
Sahabat…
Kumohon jangan pernah kau pergi
Walau awan dan delta akan terus
berganti
Astaghfirullohal’azim !
Seluruh tubuhnya hitam lekat. Hanya bola
matanya yang telihat putih bersinar. Di dekat ranjang tidur ku, secepat kilat
ia berjalan kesana kemari. Aku tertegun. Bila diperhatikan, bayangan itu mirip
sesosok anak kecil berusia 10 tahunan. Aku terus memperhatikannya. Dia..bayangan
itu menggerling ke arah ku.
Seram !
Dia mendekat dan semakin mendekat. Sungguh,
ia membuat ku merasa takut. Dia mendekat..mendekat..dan wuaaaaaa.. bayangan itu
masuk kedalam ragaku. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya. Namun
lidahku kelu, terkunci. Aku hanya mampu berteriak dalam hati. Aku benar-benar
ketakutan. Tiada satu pun yang mendengar teriakan histeris dari hatiku.
Bresss..tiba-tiba aku merasa ada banjir bandang menyerang rumah ku.
“wuaaaaa, Mamaaaaaa !” teriaku terbangun
dari mimpi.
“Diam dan bangunlah !” pinta mama dengan
ember ditangannya.
Hufhh..sial. Mimpi apa aku tadi. Bangun pagi di sambut dengan semburan
seember air. Ku lirik jam di meja. Jarum jam
menunjukan pukul 06.25 pagi.
Mampus !
Aku terlambat. Pantas Mama marah. Alarm
yang ku bunyikan tepat pukul 05.00 pagi sampai tidak mempan di telinga ku.
Tak..tak..tak..dengan cepat aku berlari menuju kamar mandi.
Hari berikutnya..
Saat itu entah dimana. Entah dengan
siapa. Entah membicarakan apa. Aku tidak sedetail itu memperhatikannya. Semua
orang terlihat sibuk. Ku teguk segelas air putih. Tak lama, ku lanjutkan
obrolan. Krettt..kurasakan terdapat serpihan tipis yang menggangu aktifitas
mulut ku. Biarlah, kulanjutkan saja obrolan. Tetapiii..krett..krett..aku
merasakan serpihan aneh ini semakin bertambah saja dalam mulut ku. Namun hingga
detik ini aku masih bisa mengabaikanya. Tapiii..krettt..krettt..krettt..
serpihan ini semakin banyak dan semakin banyak. Ku ambil sebuah serpihan dari
mulut.
Astaghfirullohal’azim !
Sebuah serpihan kaca tipis. Dan sekarang mulut ku telah di
penuhi oleh serpihan kaca, dimana ia berasal dari lendir yang keluar dari
kelenjarnya. Sekali lagi, aku benar-benar ketakutan. Ingin rasanya menjerit.
Tapi kelu, terkunci. Mulut ku tak lagi mampu untuk berkata-kata. Serpihan kaca
ini membuatnya tak lagi dapat berfungsi dengan normal.
‘’Ya
Allah, mengapa bisa seperti ini !’’ jeritku dalam hati .
Aku menangis. Rasanya takut. Dari sekian
banyak anak adam di ruangan ini, tiada satupun dari mereka yang bisa menolong ku
.
Ya Allah !
Kejadian tak masuk akal kembali terjadi.
Serpihan kaca ini berubah menjadi sederet buku yang terus mengalir layaknya
aliran sungai . Dimana mulut ku menjadi sumber dari alirannya. Mulut ku
menganga. Sungguh, aku tak mempunyai daya untuk menghentikan aliran ini.
Rasanya begitu takut. Bukan takut pada serpihan ini. Tetapi aku takut peristiwa
ini takan mempunyai akhir. Dan aku takut tiada lagi akan hidup normal seperti
yang lain. Semakin aku merasa takut, semakin gencar pula aku menangis.
‘’Ya Allah.. tolong aku !” jeritku masih
dalam hati. Aku bukan hanya begitu takut, tetapi akupun begitu sedih. Karena aku menyadari, aku harus menghadapinya
seorang diri .
‘’Mamaaaaaaaaa !’’
Aku tersentak bangun dari tidur ku . Ku
sentuh mulut. Ku gerak-gerakan . Kugigit lidah ku. Aku hanya ingin memastikan
semuanya masih normal.
‘’Ada apa Tara, kenapa larut malam begini kamu teriak-tariak ?‘’suara
mama dibalik pintu kamarku.
Aku tertegun. Dengan peristiwa tadi,
masihkah aku mampu berbicara dengan normal. Hampir-hampir aku tak percaya
paristiwa aneh itu
hanya sebuah mimpi.
‘’Tadi Tara Cuma mengigau, Ma !’’
Wow .. apa yang telah ku katakan pada mama, semuanya benar-benar hanya mimpi.
Dan aku masih bisa berbicra dengan normal.
Alhamdulillah Ya Allah !
Ku nyalakan lampu. Ku lirik jam di meja.
Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Hari memang masih terlalu larut.
Kembali ku matikan lampu. Ku rebahkan kembali tubuh ini diatas ranjang. Ku terawangi
langit-langit . Aku tak tahu mengapa beberapa hari ini begitu banyak
mimpi-mimpi aneh menghantuiku.
***
Mentari dengan pancaran yang
sempurna tengah berada di atas kepala saat aku tengah menanti bus di halte
sekolah dengan harap-harap cemas. Berkali-kali aku telah mempertimbangkannya. Dan
saat ini aku tak ingin lagi mendengarkan desau segumpal darah yang terus
melarang ku untuk melakukannya. Melakukannya memang sesuatu yang ku benci . Namun
apa mau dikata, jika aku telah kehabsan cara untuk menyelesaikannya semuanya, tak
ada cara lain selain melakukannya. Setelah begitu lama hingga aku merasa waktu
telah terpatri, akhirya bus datang. Ku nikmati perjalanan menuju rumahnya.
Beberapa menit berlalu. Rumahnya semakin dekat. Hati ini semakin cemas. Memang
bukan kali pertama aku berkunjung kerumahnya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang
lain yang membuatku semakin cemas dan semakin cemas. Namun jika aku telah
memulai sesuatu, maka aku pun harus meneruskannya hingga akhir. Walaupun ku
tahu dengan pasti semuanya akan menyakitkan.
Tepat di depan sebuah rumah bus pun
berhenti. Semuanya belum berubah. Tanaman hias dengan bunga yang berwarna-warni
masih selalu menghiasi teras rumahnya. Didekatnya ku dapati wanita paruh baya
yang dimata ku ia terlihat begitu anggun. Ia seorang ibu yang penuh dengan
kelembutan hati. Dengan menebar senyum kelembutan, ia sirami tanaman hias kesayangannya.
“Eh.. Tara ayo nak masuk saja kerumah.
Lanang sedang sarapan !”
Ibu.. ia selalu menyambut ku dengan
senyuman hangat. Seolah aku adalah tamu istimewa dirumahnya. Aku menganggapnya
sama seperti mama. Bukan apa. Semua itu tak lebih karena ia adalah ibu dari
sahabat ku.
“ Kenapa berdiri saja. Ayo masuk, nak !”
pintanya lagi.
Aku pun mulai merambah memasuki rumah
tersebut.
“ Tara, Ibu panggilkan Lanang dulu !”
Aku hanya menanggapinya dengan anggukan
ringan. Beberapa menit kemudian, Lanang.. sosoknya mulai muncul dari balik
pintu.
“ Ada apa kesini ?” tanyanya ketus
“ Sebelumnya aku minta maaf, tidak memberitahu terlebih dahulu
kalau aku akan kesini ”
Kami saling diam tak ada suara.
“ Aku kesini hanya ingin memastikan apa
yang membuat mu begitu marah. ” aku memulai pembicaraan.
“ Kenapa kamu begitu memikirkanya.
Lupakan saja semuanya !” pintanya
“ Aku juga tak ingin memikirkanya. Jika
hatiku tidak tenang tanpa suatu alasan yang ku tahu dengan pasti, bagaimana
mungkin aku tidak memikirkanya. ”
“ Semuanya tak penting. Jadi tak perlu
untuk dibahas !”
“ Lanang, tak semudah itu. Karena buat ku
semuanya penting. Jika semuanya tidak penting, mana mungkin aku menyempatkan
diri kerumah mu hanya untuk membahasnya. Katakana saja salahku,tak sulit kan ?”
“ Sekali lagi kamu menanyakanya, aku
akan diam !” ancamnya
“ Lanang, kamu harus bicara. Jangan
diam! Mana mungkin aku bisa belajar dari kesalahan kalau kamu diam. Lanang, aku
ingin belajar !” rengekku mulai kesal
Hatiku mulai terasa perih saat ia terus
membisu.
“ Aku tak jadi mengambil sastra Inggris.
Kelak kita tidak akan sekelas lagi. Jadi kamu bisa tenang tanpa aku. Tapi
tolong jelaskan padaku apa salah ku. Jangan diam seperti ini !”
Sakit.. rasanya hatiku semakin sakit.
Walaupun ia diam tapi aku merasa ia pun sakit dengan keputusanku. Tetapi aku pun
terlalu bodoh untuk mengetahui cara yang baik agar membuatnya mengerti. Ibu.. tiba-tiba
ia menghampiri kami.
“ Lanang, ayo ajak Tara makan ke dalam
!” pintanya
“ Kenapa bukan ibu saja yang mengajaknya
!” ketus
Sungguh, aku tak pernah melihatnya
berbicara sekasar itu pada ibu yang aku tahu begitu sangat di cintainya.
Mungkin apa yang aku lakukan hari ini telah begitu menyakiti hatinya.
“ Ibu, Ibu tak perlu repot-repot. Tara
sudah selesai. ”
“ Tidak makan dulu, nak ?”
“ Ndak Bu, Tara pengin cepet-cepet
sampai dirumah. ”
Akupun berpamitan dengan ibu. Aku tahu
dengan pasti, andainya aku terus berada disana, tentunya bukan hanya aku,
tetapi Lanang pun akan semakin sakit. Entah mengapa, mungkin tak ada yang bisa
menjawabnya kecuali dirinya sendiri. Tak..tak.. tak.. ku hitung langkah seperti
sedang menghitung getaran detik yang mengalun. Semakin banyak detak yang
terhitung, sakit itu semakin terasa. Sore ini hujan turun. Bersamanya mengalir
titik-titik embun yang tak bisa ku hentikan. Hempasan nabula yang hadir bersama
hujan sore ini membuat nafas ini terasa sesak.
***
Aku terdiam. Terhenyak. Tutur katanya
memang begitu lembut. Tetapi dibalik kelembutan tutur katanya, tersimpan seribu
duri yang telah menusuk hingga hati ini terasa perih.
“ Mana kumpulan artikel yang telah
kelompokmu cari ?”
Aku tak mampu menjawab pertanyaan Bu
Lestari, pembina jurnalistik sekolah.
“ Secepatnya artikel itu harus dikumpulkan.
Kita tidak mempunyai banyak waktu karena majalah sekolah akan segera
diterbitkan, Tara !” lanjutnya.
“ Maaf
Bu, saya tidak bisa mengerjakanya tanpa Lanang. ”
“ Tetapi kamu mempunyai tanggung jawab,
Tara. Kita telah menghimpun banyak dana untuk menerbitkan majalah ini. Pakai
logika kamu !”
Tess..tess..aku menitikan air mata.
Oh Tuhan ini benar-benar memalukan !
“ Apakah saya harus menyuruh Lanang
untuk menghadap saya ?” ancamnya kemudian.
“ Jangan dulu, Bu. Saya akan berusaha
untuk membicarakanya secara baik-baik terlebih dahulu dengan Lanang. ”
“ Baiklah saya tunggu hasilnya. ”
Sejak peristiwa dirumahnya, Lanang
selalu menghindar dari segala apa yang berhubungan dengan ku. Ingin rasanya aku
bicara. Tetapi dengan pasti aku tahu, semakin aku ingin bicara semakin ia
kuat-kuat mengunci mulutnya. Aku pun ingin membiarkanya. Tetapi membiarkanya pun
bukan cara yang tepat untuk aku menyelesaikan semuanya. Aku benar-benar merasa
kesal, oleh sebab semuanya terasa serba salah. Dan sungguh, aku tak tahu apa
yang harus ku lakukan setelah apa yang barusan terjadi diruang Pembina
jurnalistik sekolah.
Mentari mulai menampakan spectrum
continue berwarna merah diufuk barat saat aku tengah sibuk membenarkan tali
sepatu. Sore ini sekoalh telah sepi. Tak.. tak..tak.. suara detak sepatu itu
terdengar jelas dan semakin jelas. Tetapi entah mengapa detak sepatu itu
tiba-tiba terhenti di tempat yang tak terlalu jauh dariku. Akupun mencari
sumber suara yang terhenti itu. Seseorang berkulit putih dengan rambut ikalnya.
Wajahnya yang tak pernah lepas dari kaca mata, serta postur tubuhnya yang
sedang. Membuatnya terlihat anggun dan mengingatkanku akan bundanya. Dalam
rentang waktu yang cukup lama kami saling diam seribu bahasa.
“ Lanang, kenapa beberapa hari ini kamu
tidak datang dalam pertemuan jurnalistik ?” akupun memulai pembicaraan berharap
akan ada jawaban. Tetapi nihil.
“ Lanang, kamu tidak boleh seperti ini !”
pintaku tetap dengan jawaban yang nihil.
“ Tidak apa kalau kamu marah dengan ku.
Tapi jangan pernah mencampur adukan masalah
pribadi dengan tugas jurnalistik kita. Cobalah untuk bersikap professional,
Lanang !”
Ia tetap diam. Tak ada jawaban. Sikapnya
benar-benar menjengkelkan.
‘’Lanang, kamu masih mempunyai mulut.
Pita suara mu masih bisa berfungsi dengan baik. Jadi bicaralah! Jangan seperti
patung hidup dan jangan memperlakukan aku seolah aku ini benda yang payah, itu menyedihkan
!” jeritku.
Hati ini kembali terasa sakit. Aku tahu
dengan pasti telah semakin menyakitinya dengan apa yang telah ku katakan.
‘’Aku akan menuruti semua permintaanmu.
Aku akan melupakan semuanya. Asalkan kamu tidak melupakan jurnalistik !’’
Ia tetap diam. Dan aku sedih mengapa aku
tak bisa membuatnya bersuara.
‘’Jika kamu terus seperti ini, jangan salahkan
aku jika kamu dipanggil oleh pembina !’’
Tetapi ia tetap dalam diam. Berjalan
mengacuhkanku seolah aku hanyalah hantu yang tak terlihat. Hanya angin yang
mendesir. Ia melangkah menuju tempat parkir tanpa pernah memperdulikanku. Aku
merasakan desir-desir halus yang menyakitkan terus memenuhi celah-celah kecil
dalam hati ini.. dan rasanya perih.
‘’Lanang maafkan aku !” teriakku dengan kencang.
Bremmmm... mesin motor itu menderu.
Berjalan melewatiku. Menjauh, menghilang.
Tess.. tesss.. aku tak mau menghapusnya lagi. Rasanya sakit. Sungguh aku
tak tahu mengapa ia begitu membenci ku. Mengapa ia begitu sulit memaafkan ku.
Aku selalu bertanya mengapa. Tetapi yang selalu ku temukan tak pernah lebih
dari lembaran kertas kosong. Aku merasa sakit atas segala perilakunya. Tetapi
apakah ia juga merasakannya. Ataukah mungkin sebenarnya ia lebih sakit dariku,
hingga terlalu sulit baginya untuk memafkanku. Entahlah.. karena aku pun
terlalu bodoh untuk mengetahui sesuatu yang telah melukai hatinya. Dan sebagai
sahabatnya ,aku terlalu egois untuk mengerti perasaannya.
Sesampainya di rumah ku rebahkan tubuhku diatas ranjng. Ku gapai hp di
atas meja belajar. Ada sebuah pesan. ‘’ biklah , mulai besok aku akan berangkat
jurnalistik !” pesan dari Lanang. Betapa saat itu aku bahagia oleh sebab Lanang
telah mau kembali berbicara dengan ku.
***
Ya Ampun !
sudah berapa menit waktu berlalu. Entah
mengapa bus hari ini begitu lelet. Bremmmm ..motor ini berhenti di depanku.
‘’Hai Tara, ayo ikut ! ‘’ pinta Chacha.
Akupun membonceng dibelakangnya .
Beberapa menit kemudian kami pun sampai disekolah.
‘’Ra, kemarin-kemarin Lanang dan Andre main kerumahku. Mereka mampir tidak
kerumahmu ?’’ Chacha memulai pembicaraan.
‘’Tidak, mereka tidak mampir. ‘’ jawabku
singkat.
Sakit,
entah mengapa beberapa hari ini
aku begitu sering merasakan sakit. Saat ini bukan hanya sakit. Karena akupun
merasakan takut. Mengapa Lanang bergaul dengan Andre? Dan mengapa ia juga mau
diajak bermain kerumah Chacha oleh seorang Andre? Si urakan itu. Apakah semenjak persahabatan
kami penuh dengan masalah, sebegitu mudahnya Lanang berubah? Apakah benar
terjadi alih budaya diantara mereka? Rasanya
sakit jika harus mempercayai semua ini. Tetapi bagaimana bisa aku tak percaya.
Sedang sedikitpun aku tak bisa dengan mudah memonitor segala perubahan yang
terjadi pada dirinya.
Kudapati hanya segelincir manusia yang telah menempati kelas ini. Dengan
pelan akupun duduk di bangku yang masih kosong. Tak lama kemudian ia datang
dari balik pintu. Ia masih seperti biasanya. Diam dan mengacuhkan keberadaan ku.
Kupandangi ia dengan kesal.
‘’Lanang, jangan lupa nanti ada rapat
jurnalistuk !’’ seruku
Ia memang tidak menanggapi seruanku.
Namun aku tahu, tak semudah itu ia menarik ulur kata-katanya sendiri. Ia tetap
duduk tenang diatas kursinya. Hari-hari di sekolah kami lalui seperti biasanya.
Tanpa kata. Tanpa suara.
Tett.. tet.. tet.. bel sekolah pun di bunyikan. Jarum jam menunjukkan
pukul 14.00 siang.
‘’Lanang, kamu benar-benar akan
mengikuti partemuan khan ?’’
Ia mengangguk dan meninggalkanku tanpa
kata. Tak apa. Sepertinya aku pun harus belajar menyesuaikan diri dengan
kebiasaan barunya ini.
Jam telah menunjukan pukul 14.30
. Waktunya rapat dimulai. Namun sosoknya tak jua terlihat. Krettt.. suara pintu
di buka.
‘’Assalamu’alaikum’’
‘’Wa’alaikumsalam’’
Lanang, ia tengah berjalan menuju kursi
kosong yang beberapa hari ini tidak berpenghuni. Kami semuapun memulai rapat
anggota jurnalistik.
Hari telah beranjak sore saat rapat selesai. Sebentar ia menghetikan
langkah. Menunggu ku yang tengah sibuk membenarkan tali sepatu. Kemudian
melanjutkannya dengan langkah pelan.
‘’Lanang, tunggu aku !’’ pintaku
Ia tetap mengcuhkanku.
‘’Lanang, aku ingin bicara !’’
Ia tetap berjalan pelan tanpa kata. Aku
berlari untuk mengejarnya.
‘’Chacha bilang kemarin-kemarin kamu bermain
kerumahnya dengan Andre, apakah kamu akan mengiyakannya ?’’
Aku kecewa oleh sebab ia selalu
menanggapinya dengan diam.
‘’Lanang, kamu pernah bilang selamanya
akan menjadi pria baik-baik. Jangan pernah melupakannya! Dan aku tidak suka
kamu bergaul dengan seorang seperti Andre !”
Aku tak bisa lagi mengimbangi langkahnya
yang semakin cepat.
“ Lanang, jangan pernah berubah!
Tetaplah menjadi Lanang yang selama ini
ku kenal! Jikapun harus berubah, berubahlah menjadi lebih baik !” Jeritku.
Tit.. tit.. klakson itu dibunyikanya. Ia
menggerlingkan matanya kearahku.
“ Mau ikut tidak ?”
Aku berlari cepat ke arahnya. Ku tatap
ia dengan jengkel.
“ Ayo naik !” pintanya
“ Aku tidak mauuuuu !” teriaku kesal.
Iapun mendorong kepala ku dan pergi
mengacuhkan ku.
***
“
Bolehkah marah itu bersemayam dalam hati, namun tahukah kamu sebab apa
dibaliknya. Jangan sampai kamu menyesal untuk yang ke 2 kalinya ”
Aku masih selalu ingat, pesan ini
dikirimnya 4 bulan yang lalu untuk yang terakhir kalinya. Ya Alloh, maafkan aku
karena pernah meragukanya. Maafkan aku, karena terlalu sering menyakitinya. Tess..
tess.. aku sedih. Karena aku terlalu takut andainya harus kehilangan sahabat
sebaik dia. Namun sekarang tiada cerita, tiada juga canda. Perubahan waktu
dalam hidupku telah hampa akan
celotehan-celotehan konyol darinya. Entahlah. Berbulan-bulan sudah semuanya
berlalu. Entah seberapa banyak pesan yang ku kirim tanpa jawaban darinya.
Sekali saja. Iapun tak pernah lagi mau menerima telepon dari ku. Yang membuatku
semakin sedih, jikalau dulu hanya kertas kosong yang ku temukan atas segala
pencarian ku, maka dengan mimpi ini, Alloh telah menjawab semua pertanyaan itu.
Kesombongan yang awalnya hanya desir-desir halus, kini ia telah menguasai
sebagian dari diri ku. Ia adalah tirai yang melemahkan hati untuk mendeteksi
segala bentuk kesalahan yang telah ku lakukan. Dan akupun menyadari, Lanang
sakit bukan karena sikap ku. Tetapi ia sakit atas segala ucapan ku yang begitu
menusuk hatinya. Dan aku tahu dengan pasti, luka yang disebabkan oleh goresan
benda tajam, akan cepat sembuh dalam hitungan waktu. Tetapi luka yang
disebabkan oleh ketajaman lidah, terkadang waktupun tidak berdaya untuk
mendeteksi seberapa lama luka itu akan mongering. Malam ini, aku tak bisa untuk
kembali memejamkan mata. Kembali
kunyalakan lampu. Jarum jam menunjukan pukul 03.00 dini hari. Ku baca kembali
kenangan-kenangan yang tersimpan dalam catatan deary. Mata ini terpaku pada
sepucuk kertas yang terselip dalam lembaran-lembaran diary.
Arti
sahabat !
Sahabat
adalah indra kita :
1. Sahabat adalah mata
Ia adalah monitor yang akan selalu
memperhatikan kita
2. Sahabat adalah hidung
Ia adalah pengawas yang baik. Ia
mampu mencium segala perubahan-perubahan yang terjadi pada diri kita.
3. Sahabat adalah telinga
Ia adalah pendengar yang baik.
Tempat dimana kita berbagi cerita dan ia akan selalu ada untuk medengarkan
kita.
4. Sahabat adalah mulut
Ia bersikap terbuka dengan segala
unek-unek dihatinya. Walaupun terkadang ia pun dapat menyakiti dengan segala
unggah-ungguhnya. Bisa dengan sikapnyamaupun tutur katanya. Namun iapun adalah
tempat yang tepat untuk berbagi informasi apa saja yang kita tidak tah,u karena
Ia akan selalu mengajak kita pada kebaikan.
5. Sahabat adalah kulit
Ia mampu untuk mengerti apa yang
kita rasa
6. Sahabat adalah hati
Ada
suatu ikatan batin yang membuat kita lebih mempercayainya dari yang lain.
Keberadaanya memberikan kebahagiaan mendekati sempurna. Dan ikatan batin ini
menjadi alasan mengapa kita mampu memaafkan sebesar apapun kesalahan yang
pernah diperbuatnya. Dan iapun juga menjadi alasan mengapa kita menerima ia apa
adanya.
Tes.. tes.. aku sedih karena aku mengingatnya. Dulu ia memberikan lembaran ini
dengan senyuman begitu manis. Dan sekarang, aku harus menjalani bagian dari hukum
aksi reaksi yang membuatnya harus menjauh.
Dan..harus ku trima dengan lapang dada. Entah sampai kapan sebuah dosa
akan tertebus. Karena maaf tak lagi mampu membuat semuanya kembali. Namun..aku
ingin tetap disini. Menanti senyuman yang kuharap bisa kembali. Trimakasih
untuk semuanya, sahabat ku !

Comments
Post a Comment